Subscribe Twitter Facebook

Wednesday, April 28, 2010

Akan Tetapi Justru Aku Takut Jika Ini Adalah Majelis Yang Buruk

Akan Tetapi Justru Aku Takut Jika Ini Adalah Majelis Yang Buruk

Sufyan Ats Tsauri bertemu Fudhail bin Iyyad, mereka berdua saling mengingatkan, hingga keduanya sama-sama menangis. Maka Suyan berkata : “ Saya berharap agar majelis kita ini adalah menjadi majelis yang paling utama sehingga kita mendapatkan barakah !” Fudhail berkata : “ Kamu berharap demikian ? Adapun aku justru merasa takut majelis yang kita adakan adalah majelis yang paling buruk. Bukankah anda melihatbegitu baiknya keadaan anda lalu jangan-jangan anda menghias diri untukku (menampakkan kebagusan didepanku ), lalu aku menghias diri (menampakkan kebagusan) untuk anda, hingga aku dan anda sama-sama riya ?”. Lalu menagislah sufyan seraya berkata : “ Nasihatmu telah menghidupkan hatiku, mudah mudahan Allah menghidupkan hatimu.”

###

Hal ini menunjukkan kejelian pemahaman mereka dan dalamnya pengetahuan maupun hikmah keduanya, bentuk kesungguh-sungguhan dalam instropeksi diri dan meneliti lintasan-lintasan hati. Dua orang alim dan ahli ibadah bertemu, keduanya memiliki sifat wara' dan zuhud. Masing-masing memberikan wasiat kepada yang lain agar senantiasa teguh dan konsekuen. Siapakah yang memiliki kefakihan dan pengetahuan seperti Sufyan dan siapakah orang yang memiliki sifat wara' dan zuhud seperti Fudhail ?

Sufyan merasa gembira dengan pertemuan itu dan beliau berharap agar pertemuan tersebut mendatangkan barakah yang agung dan memiliki pengaruh yang besar dan mendalam bagi kehidupan keduanya, akan tetapi disisi lain, Fudhail justru merasa takut dengan sesuatu yang tidak terlintas dalam benak Sufyan Ats Tsauri. Beliau takut terjerumus dalam bencana riya' yang menimpa pada pertemuan tersebut, jangan-jangan tatkala sufyan melihat demikian bagusnya nasihat Fudhail dan pengalaman yang berharga, lalu ia menampakkan antusias dan kesabarannya kepada Fudhail. Bukankah ini merupakan bentuk menghias diri dan bisa jadi pertemuan tersebut membuka pelang bagi jiwa untuk merasa puas (karean mampu menampakkan sikap antusias), memungkinkan untuk timbulnya sikap ujub, suka dipuji dan hati terbuai sedikit demi sedikit ?

Adapun Fudhail tidak merasa terbebas dari sikap menghias diri dan tersebut, beliau khawatir jika ternodai oleh rasa ingin menampakkan kebaikan dirinya sehingga orang menilainya sebagai orang yang ahli ibadah, zuhud dan ikhlas.

Dari perkataan tersebut, Fudhail juga ingin mengingatkan shahabatnya untuk menjauhi lintasan-lintasan hati yang tercela tersebut dan agar waspada terhadap buaian setan yang mendorong seseorang untuk menampakkan kebaikannya dihadapan orang lain.

Kemudian tangis Sufyan semakin menjadi, karena perkataan Fudhail telah membangkitkan kekhawatiran beliau. Tangisan beliau makin keras ketika mengetahui betapa dalamnya kebinasaan yang mungkin dialami oleh orang yang menampakkan kebaikannya, suka dipuji, suka jika orang takjub dengan kebaikannya, dan manusai meletakkan atribut keutamaan dan kesempurnaan.

Lalu Ats Tsauri berdoa kepada Rabb-nya agar menghidupkan hati Fudhail dengan ma'rifah dan dzikir, sebagai balasan atas bimbingannya terhadap beliau sehingga hatiya hidup dan selamat dari tipu daya setan yang tidak disadari oleh kebanyakan orang.

Apakah anda mengingat peristiwa diatas setiap kali anda menyaksikan pertemuan-pertemuan, muktamar, atau pertemuan para duta dan para pemikir ? Apakah mereka pernah membaca kisah ini dan bagaimana kondisi mereka jika dibandingkan dengan kisah tersebut ? Dan apakah mereka sadar bahwa masing-masing dari mereka telah memperbagus diri mereka dihadapan shahabatnya ata ingin diumumkan kebagusannya dan ketegarannya diatas jalan yang lurus ?

Sesungguhnya memisahkan antara perkataan dan perbuatan, keinginan untuk mendapatkan pujian, berbangga diri dan memburu popularitas ditengah manusia, berupaya memperbagus penampilan dihadapan mereka, ada jebakan yang berbahaya, yakni hapusnya amalan dan menjadika tujuan para da'i adalah memperoleh kedudukan dihadapan manusia, bukan untuk mencari solusi atas problematiak umat atau memperbaiki kekurangan mereka.

Berapa banyak orang yang menyeru manusia untuk berakhlaq karimah dan keras dalam memberi peringatan terhadap penyimpangan namun dia sendiri tidak konsekuen dan tidak pula mencegah kemungkaran yang terjadi disekitarnya. Berapa banyak orang yang menyerukan kebaikan namun dia tidak merealisasikan apa yang dia serukan dalam hidupnya. Dia mentolerir dirinya dan condong kepada keinginan hawa nafsunya. Berapa banyak orang yang menyeru kepada keadilan, namun terjerumus kepada praktek-praktek kecurangan.

Itulah penyakit yang diingatkan oleh Allah Ta'ala dalam firmannya

: أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

" Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?"

Haakadza....tahaddatsas salaf, Dr. Musthafa Abdul Wahid. Edisi indonesia : Potret kehidupan para salaf. Pustaka at tibyan hal : 126 – 128.

author:Mohammad Rafiq

Hukum Wanita Menggelung/Menyanggul Rambut yang Membentuk Benjolan yang Terlihat dari Balik Jilbab

Agustus 21st, 2009 Author: Ummu Shofiyyah al-Balitariyyah
Oleh : asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rohimahulloh

Pertanyaan :

Apa hukum seorang wanita mengumpulkan (menggelung/sanggul) rambutnya di atas lehernya dan di belakang kepalanya yang membentuk benjolan sehingga ketika wanita itu memakai hijab, terlihat bentuk rambutnya dari belakang hijabnya?

Jawaban :

Ini adalah kesalahan yang terjadi pada banyak wanita yang memakai jilbab, dimana mereka mengumpulkan rambut-rambut mereka di belakang kepala mereka sehingga menonjol dari belakang kepalanya seandainya mereka memakai jilbab di atasnya. Sesungguhnya hal ini menyelisihi syarat hijab yang telah kukumpulkan dalam kitabku “Hijab al-Mar’ah al-Muslimah minal Kitab was Sunnah”.

Dan diantara syarat-syarat tersebut adalah pakaian mereka tidak membentuk bagian tubuh atau sesuatu dari tubuh wanita tersebut, oleh karena itu tidak boleh bagi seorang wanita menggelung rambutnya dibelakang kepalanya atau disampingnya yang akan menonjol seperti itu, sehingga tampaklah bagi penglihatan orang walaupun tanpa sengaja bahwa itu adalah rambut yang lebat atau pendek. Maka wajib untuk mengurainya dan tidak menumpuknya.

***

Sumber : Silsilatul Huda wan Nur

diterjemahkan dari : http://www.baiyt-essalafyat.com/vb/showthread.php?t=10647




حكم جمع المرأة لشعرها خلف رأسها بحيث يعطي شكلاً مكوراً يظهر خلف الحجاب


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

السائل: ما حكم جمع المرأة لشعرها فوق رَقَبَتِهَا وخلف رأسها بحيث يعطي شكلاً مكوراً مع العلم بأن المرأة حين تتحجب يظهر شكل الشعر من خلف الحجاب ؟.

الشيخ: هذه خطيئة يقع فيها كثير من المتحجبات حيث يجْمَعْن شعورهن خلف رؤوسهن فَيَنْتُؤُ من خلفهن ولو وضعن الحجاب من فوق ذلك، فإن هذا يخالف شرطا من شروط الحجاب التي كنت جمعتها في كتابي حجاب المرأة المسلمة من الكتاب والسنة ومن هذه الشروط ألا يحجم الثوب عضوا أو شيئا من بدن المرأة، فلذلك فلا يجوز للمرأة أن تكور خلف رأسها أو في جانب من رأسها شعر الرأس بحيث أنه يَنْتُؤُ هكذا فيظهر للرأي ولو بدون قَصْدٍ أنها مشعرانية أو أنها خفيفة الشعر يجب أن تسدله ولا تُكَوِمَهُ .


سلسلة الهدى والنور

الشيخ ناصر الألباني رحمه الله

taken from:
http://ummushilah.0fees.net/wordpress/

Batasan Aurot Wanita yang Boleh dilihat oleh Mahrom dan Sesama Muslimah

Agustus 13th, 2009 Author: Ummu Shofiyyah al-Balitariyyah

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh

Pertanyaan : Bolehkah seorang wanita membuka betisnya, lehernya, dan kedua lengannya di depan saudara laki-lakinya?

Jawab :
Seorang wanita tidak boleh menampakkan di depan mahromnya dan wanita-wanita mukmin kecuali tempat-tempat perhiasannya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنّ….

“Dan janganlah wanita-wanita yang beriman menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, dst…(Qs. An-Nur : 31)

Dan tempat-tempat perhiasan adalah : kepala, tempat kalung, tempat gelang, dimlj yaitu perhiasan yang diletakkan di bahu, kedua tapak kaki, serta tempat gelang kaki.

Hanya tempat-tempat inilah yang boleh tampak di depan mahromnya dan di depan sesama wanita.

Sumber : Fatwa-Fatwa Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Monday, April 26, 2010

AHLUS SUNNAH MENGAJAK KEPADA AKHLAK MULIA

Abu Mushlih Ari Wahyudi
20 April jam 14:42

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” [HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya.” [HR. At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji dan kotor.” [HR. At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula: “Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat majelisnya denganku pada hari Kiamat adalah yang paling baik akhlaknya...” [HR. At-Tirmidzi, ia berkata: “Hadits hasan.”]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Surga, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Neraka, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Lidah dan kemaluan.” [HR. At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”]

Ahlus Sunnah –orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah- memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, menganjurkan untuk bersilaturrahim, serta berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan Ibnu Sabil. Mereka (Ahlus Sunnah) melarang dari berbuat sombong, angkuh, dan zhalim. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang mulia dan melarang dari akhlak yang hina. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemurah menyukai kedermawanan dan akhlak yang mulia serta membenci akhlak yang rendah/hina.” [HR. Al-Hakim. Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi]. Sungguh akhlak yang mulia itu meninggikan derajat seseorang di sisi Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya seorang Mukmin dengan akhlaknya yang baik, akan mencapai derajat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan shalat di tengah malam.” [HR. Abu Dawud dan al-Hakim. Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi]

Akhlak yang mulia dapat menambah umur dan menjadikan rumah makmur, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “... Akhlak yang baik dan bertetangga yang baik keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur.” [HR. Ahmad]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sebutkan dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar mempunyai akhlak yang agung.” [al-Qalam : 4] Hal ini sesuai dengan penuturan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]. Begitu pula para Sahabat (salafus shalih) Radhiyallahu ‘anhum, mereka adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia.

[Diringkas oleh Ari Wahyudi dari artikel situs almanhaj.or.id yang berjudul: ‘Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Mengajak Manusia Kepada Akhlak Yang Mulia Dan Amal-Amal Yang Baik’ yang merupakan salinan dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, alamat sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2177/slash/0]

Sahabatku ... Semoga Engkau Mengetahui Hak-hak

20 Desember 2009 00:00

Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam - Akhlaq

Saudaraku yang semoga dirahmati Allah. Sungguh persahabatan merupakan suatu karunia dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah yang artinya,“Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara” (Ali Imron : 103). Ini adalah nikmat Allah yang sangat agung. Maka seharusnya kita menjaganya dengan memperhatikan hak-hak di antara sahabat. Pembahasan berikut, berisi sebagian hak-hak persahabatan yang seharusnya diperhatikan oleh orang-orang yang mengikat tali tersebut.

Bersahabatlah karena Allah

Ingatlah wahai saudaraku -semoga Allah menunjuki kita untuk taat kepada-Nya-, bahwa tujuan kita bersahabat adalah senantiasa untuk mengaharap ridho Allah Ta'ala. Dan janganlah sekali-kali persahabatan tersebut dijadikan untuk mendapatkan kepentingan dunia semata.

Persahabatan yang dilandaskan saling cinta karena Allah itulah yang akan mendapatkan manisnya iman, sebagaimana Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Ada tiga perkara yang apabila seseorang memilikinya akan mendapatkan manisnya iman, yaitu Allah dan Rosul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, dia mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan dia tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah membebaskan darinya sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api." (HR. Bukhari)

Di samping itu, persahabatan seperti inilah yang akan kekal hingga hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman yang artinya,"Teman-teman akrab pada hari (kiamat) nanti sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa."(QS. Az Zukhruf : 67).

Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan bahwa setiap persahabatan yang dilandasi cinta karena selain Allah, maka pada hari kiamat nanti akan kembali dalam keadaan saling bermusuhan. Kecuali persahabatannya dilandasi cinta karena Allah ‘azza wa jalla, inilah yang kekal selamanya. (Tafsir Ibnu Katsir)

Maka perhatikanlah wahai saudaraku, sudah benarkah niat kita dalam bersahabat?! Apakah persahabatan tersebut hanya untuk menyelesaikan urusan duniawi semata?!! Setelah urusan tersebut selesai, kita meninggalkan sahabat kita!! Ingatlah, persahabatan yang benar adalah persahabatan yang dilandasi cinta karena Allah, yaitu seseorang mencintai sahabatnya karena tauhid yang dia miliki, pengagungan dia kepada Allah, dan semangatnya dalam mengikuti sunnah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam.



Berbuat Itsar-lah pada Sahabatmu

Di antara hak terhadap sesama yang dianjurkan adalah mendahulukan sahabatnya dalam segala keperluan (baca : itsar) dan perbuatan ini dianjurkan (mustahab).

Perhatikanlah firman Allah Ta'ala yang artinya,"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan" (QS. Al Hasyr : 9).

Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.

Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa 'iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)

Perbuatan itsar ini hanya berlaku untuk urusan duniawi (seperti mendahulukan saudara kita dalam makan dan minum). Sedangkan dalam masalah ketaatan (perkara ibadah), perbuatan ini terlarang. Karena maksud dari ibadah adalah pengagungan kepada Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang mendahulukan saudaranya dalam hal ini, berarti dia telah meninggalkan pengagungan terhadap Allah Ta’ala yang dia sembah. Oleh karena itu, kita tidak diperbolehkan mendahulukan saudara kita (itsar) untuk menempati shaf pertama dalam sholat berjama’ah, sedangkan kita di shaf belakang. (Lihat Al Wajiz fii Iidhohi Qowa’id Al Fiqhi Al Kulliyati)

Bantulah Sahabatmu yang Berada dalam Kesulitan

Misalnya ada saudara kita yang membutuhkan bantuan pinjaman uang. Maka berusahalah untuk menolongnya dengan memberi pinjaman hutang padanya. Karena pemberian hutang yang pertama kali merupakan kebaikan. Sedangkan pemberian hutang kedua kalinya adalah sedekah. Sebagaimana dalam hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Barangsiapa yang memberi hutang kepada saudaranya kedua kalinya, maka dia seperti bersedekah padanya.”

Jagalah Kehormatan Sahabatmu

Wahai saudaraku, jagalah kehormatan sahabatmu, karena Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda pada khutbah ketika haji Wada' yang artinya,"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Di antara bentuk menjaga kehormatan saudara kita adalah menjaga rahasianya yang khusus diceritakan pada kita. Rahasia tersebut adalah amanah dan kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu menjaga amanah. Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Apabila seseorang membicarakan sesuatu padamu, kemudian dia menoleh kanan kiri, maka itu adalah amanah."(HR. Abu Daud dalam sunannya). Perbuatan seperti ini saja dilarang, apalagi jika sahabatmu tersebut memintamu untuk tidak menceritakannya pada orang lain. Maka yang demikian jelas lebih terlarang. (Huququl Ukhuwah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh).

Semoga dengan mengamalkan hak-hak ini, kita akan menjadi orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah di akherat kelak, di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Amin.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Artikel Buletin At Tauhid yang terbit setiap Jum'at di sekitar kampus UGM, Yogyakarta

www.rumaysho.com

Monday, April 19, 2010

Shaf Wanita Dalam Shalat Berjama’ah

Posted: 05 Apr 2010
06:07 PM PDT

Bagaimana posisi shaf perempuan yang shalat berjamaah bersama perempuan dan dimanakah letak imam dan makmum?

Ummu Hana
Karang Anyar

Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. menjawab:

Perempuan jika shalat berjama’ah bersama peremupuan tanpa ada laki-laki di sana maka mereka membuat shaf sebagaimana biasa. Jika jumlahnya banyak maka berbaris, namun jika sedikit tidak berbaris. Sedangkan imamnya berada ditengah dan makmumnya berada di sebelah kanan dan kirinya. Inilah yang dicontohkan oleh ‘Aisyah dan Ummu Salamah Radhiallahu’anhuma.
Sebagaimana disampaikan dalam Al Mushannaf Abdurrazzaq Ash Shan’ani, juga dibawakan oleh Syaikh Musthafa Al Adawi dalam Jami’ Ahkam An Nisa.
Wallahu Ta’ala A’lam.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com

Art of the skies..

photo by;
MNQ


senja menyapa meninggalkan siang di singapura
mentari tenggelam menjemput malam
indah cahayamu memberikan warna-warni mega dunia
nikmat TUHAN manakah yang kau dustakan
bukankah mata ini bisa menikmati segala ciptaan-NYA

Saturday, April 17, 2010

Do'a Meminta Ketakwaan dan Sifat Qona'ah

Kamis, 15 April 2010 17:00
Muhammad Abduh Tuasikal


Belajar Islam - Amalan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Setelah sebelumnya kami kemukakan tentang keunggulan do’a yang ringkas, namun syarat makna. Begitu pula kami telah kemukakan mengenai keutamaan do’a sapu jagad yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan (yaitu do’a: Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar), selanjutnya kita lihat beberapa do’a lainnya yang diangkat oleh Imam An Nawawi (Yahya bin Syarf An Nawawi) dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin. Kami pun akan mengutarakan faedah do’a tersebut. Semoga bermanfaat.

Do’a Meminta Ketakwaan dan Sifat Qona’ah

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina.” Artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina”.” (HR. Muslim no. 2721)

Faedah hadits:

Pertama: Yang dimaksud dengan “al huda” adalah petunjuk dalam ilmu dan amal. Yang dimaksud “al ‘afaf” adalah dijauhkan dari yang tidak halal dan menahan diri darinya. Yang dimaksud “al ghina” adalah kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain.

An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “ ’Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)

Kedua: Keutamaan meminta petunjuk ilmu sekaligus amal karena yang dimaksud al huda adalah petunjuk dalam ilmu dan amal.

Ketiga: Keutamaan meminta ketakwaan. Yang dimaksud takwa adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Takwa diambil dari kata “wiqoyah” yang maknanya melindungi, yaitu maksudnya seseorang bisa mendapatkan perlindungan dari siksa neraka hanya dengan menjalankan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.

Keempat: Keutamaan meminta sifat ‘afaf atau ‘iffah yaitu agar dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan semacam zina. Berarti do’a ini mencakup meminta dijauhkan dari pandangan yang haram, dari bersentuhan yang haram, dari zina dengan kemaluan dan segala bentuk zina lainnya. Karena yang namanya zina adalah termasuk perbuatan keji.

Kelima: Keutamaan meminta pada Allah sifat al ghina yaitu dicukupkan oleh Allah dari apa yang ada di sisi manusia dengan selalu qona’ah, selalu merasa cukup ketika Allah memberinya harta sedikit atau pun banyak. Karena ingatlah bahwa kekayaan hakiki adalah hati yang selalu merasa cukup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Keenam: Dianjurkannya merutinkan membaca do’a ini.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392

Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Salim bin ‘Ied Al Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi, jilid I dan II, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, jilid IV, cetakan ketiga, tahun 1424 H



Diselesaikan sore hari, 1 Jumadil Awwal 1431 H (15/04/2010) di Pangukan-Sleman

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

Dapurku Surgaku

SharePenulis: Ummu Rumman Azzahra
Muroja’ah: Ustadz Nurkholis, Lc.


“Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel kenapa nggak dari dulu belajar masak…”

Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?


Pentingkah Memasak?

Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga, memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga di antara semua karya seni lainnya.

Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar. Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.

Memasak Sebagai Ladang Pahala

Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah?

Sebagai seorang muslimah kita diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.

Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu mudah kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.

Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi manusia yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota keluarga kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran tersebut sebagaimana firman-Nya, yang artinya,

“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)

Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman mengenai hal ini, yang artinya,

“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……” (Qs. Qaf: 9-11)

Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi kesukaan suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan kepada mereka makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.

Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan momen memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga terciptalah suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.

Mari Memulainya dari Dapur

Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan, maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri kita kepada-Nya.

Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:

Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.

Saat memasak, cobalah untuk mengingat bahwa di luar sana masih banyak dapur-dapur yang tidak mengepul. Alangkah indahnya jika kita biasakan untuk selalu mengingat nasib fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Jika memungkinkan, kita bisa menyisakan sedikit dari jatah makan kita untuk mereka sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka.
Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-masakan spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta, saling menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.
Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini. Inilah di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali hubungan sosial dan menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita.

Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak, sehingga mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di dapur, hal ini juga untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul. Sehingga mereka akan memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.

Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat, kita bisa memilih masakan karya kita sendiri sebagai oleh-oleh untuk mereka.

Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai perkenalan dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dengan mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan kita tetap harus memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula menjadi sarana dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat mengenalkan hal-hal yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin sering dipertanyakan banyak orang.

Mulailah Belajar

Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor yang membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk belajar, di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang menawarkan jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.

Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.

Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian, peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.

Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah. Allahu Ta’ala a’lam.

Maroji’:

Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria (terj.), Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayyid, Pustaka Salafiyyah.
Manajemen Istri Shalihah (terj.), Muhammad Husain Isa, Ziyad Books Surakarta.
Majalah Nikah vol. 5, No. 11 Edisi Muharram 1428 H.
***

Artikel www.muslimah.or.id

Nasihat Al 'Allamah Rabi' ibn Haadi al Madkhali kepada Salafiyyin di Indonesia

Nasihat Al 'Allamah Rabi' ibn Haadi al Madkhali kepada Salafiyyin di Indonesia
Rabu, 13 Agustus 2008 - 11:11:12 :: kategori Fatwa-Fatwa
Penulis: Al 'Allamah Al Muhaddits Rabi' ibn Hadi al Madkhali
.: :.
Nasihat Al 'Allamah Rabi' ibn Haadi al Madkhali kepada anak-anak beliau, Salafiyyin di Indonesia

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه:


Amma ba’du:
Sesungguhnya aku menasehati diriku dan saudara-saudaraku salafiyyin dimana saja dan kepada seluruh kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, serta ikhlas dalam ucapan dan amalan, dalam perkara al-wala’ wal bara’ dan pada setiap perkara agama dan dunia.

Aku menasehati mereka agar berpegang teguh dengan tali Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam aqidah mereka, manhaj, akhlaq dan seluruh urusan dalam kehidupan.
Yang ketiga: "Aku memberi wasiat kepada mereka untuk membangun persaudaraan karena Allah diantara mereka, saling mengasihi dan menyayangi, sehingga mereka seperti satu tubuh, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam :
( مثل المؤمنين في تراحمهم وتوادهم كالجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى )
[Artinya] : “Permisalan kaum mukminin dalam berkasih-sayang dan saling mencintai, bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur”

Ini merupakan perkara yang dituntut semaksimal mungkin, terkhusus pada hari-hari yang penuh dengan fitnah dan cobaan, merupakan keharusan untuk saling bersaudara dan mempererat persaudaraan tersebut. Serta mengedepankan akal dalam setiap perkara, dan menjauhkan diri dari menggunakan perasaan secara membabi-buta dan sikap fanatisme. Hendaknya mereka menjadi orang yang berakal, cerdik dan pandai, dan jangan sampai setan menggiring mereka :

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
[Artinya] : Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” [QS. Al-Isra’: 53]

وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ ﴿۳٤﴾ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

[Artinya] : “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” [QS Fushsilat: 34-35]

Ini nasehatku untuk diriku dan saudara-saudaraku, aku wasiatkan mereka untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan, semua perkara yang mengantarkan kepada perpecahan, saling menjauhi, saling memalingkan diri dan memutuskan persaudaraan, maka wajib menjauhkan diri darinya.

Kita mengaku bahwa kita adalah Salafy dan kita beramal dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Kita mengaku menyeru untuk menyatukan kalimat kaum muslimin di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun ternyata kebanyakan dari kita – dan sangat disayangkan sekali - berjalan kesana kemari, dalam keadaan dia tidak peduli dengan perpecahan yang terjadi dan munculnya berbagai problem, saling hasad dan saling membenci. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar diselamatkan darinya.

Aku menasehati saudara-saudaraku di Indonesia, dan aku menasehati saudaraku di Yaman serta aku menasehati saudara-saudaraku salafiyyin di setiap tempat, agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam dakwah ini. Serta mempererat persaudaraan diantara mereka, hendaknya mereka saling bersaudara, saling menasehati dengan cara hikmah dan nasehat yang baik dan menjauhi kedengkian, kebencian, popularitas dan yang semisalnya.

Aku menasehati setiap setiap pihak dimana saja terhadap perkara-perkara ini yang telah diwajibkan atas kita, bukan hanya merupakan perkara anjuran, namun Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mewajibkannya dalam rangka untuk memelihara agama ini, memelihara aqidah, memelihara persatuan yang baik ini dari perselisihan dan perpecahan.

Kalian mengetahui bahwa musuh-musuh (dakwah Salafiyyah, pen) seluruhnya mengarahkan anak panahnya kepada dakwah Salafiyyah. Wajib atas kita sekalian untuk saling mengasihi, menyayangi, saling bahu-membahu dan berdiri di atas satu barisan untuk mengangkat bendera Islam, bendera Tauhid dan bendera Sunnah.

Kita membelanya dengan dalil, petunjuk, hujjah dan penjelasan. Jika kita saling bersaudara dan mempererat tali persaudaraan, maka manusia akan bersatu terhadap apa yang kita ucapkan dan mereka akan menerima dakwah kita.
Namun jika mereka melihat bahwa kita adalah orang yang paling suka berpecah, mereka akan lari dari kita, mereka akan mengatakan: jika sekiranya mereka berada di atas kebenaran, tentu perpecahan ini tidak akan terjadi diantara mereka, dan tidak akan terjadi perselisihan ini diantara mereka:

رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
[Artinya] : "Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami wahai Rabb kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [QS Al-Mumtahanah: 5]


Ini adalah fitnah –semoga Allah memberkati kalian-, Ibrahim 'alaihis salam dan yang bersamanya berlindung diri darinya, mereka berlindung diri dari menjadi fitnah bagi orang-orang kafir. Maka janganlah kalian –wahai salafiyyin dimana saja- menjadi fitnah bagi orang-orang kafir, bagi ahli bid’ah dan hawa nafsu.

Sebab perpecahan kalian - demi Allah - merupakan fitnah, - demi Allah - musuh-musuh akan bergembira, dan akan membuat mereka lancang terhadap dakwah ini, dan akan mencercanya dan mencerca Salafus Saleh. Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menyatukan hati-hati kita, dan memberikan kepada kita semua telinga yang mendengar, hati yang berakal, yang senantiasa tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjauhi sebab-sebab perpecahan dan perselisihan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


(Transkrip dari kaset nasehat asy Syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali melalui telepon untuk salafiyyin di Indonesia dan yang lainnya, diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)

Berikut ini transkrip naskahnya dalam bahasa Arab:
نصيحة من العلامة ربيع المدخلي لأبنائه السلفيين في أندونيسيا
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن ابتع هداه:
أما بعد: فإنّني أنصح نفسي وإخواني السلفيين في كل مكان بل وسائر المسلمين بتقوى الله وتبارك وتعالى والإخلاص في القول والعمل، وفي الولاء والبراء، وفي كل شئون الدين والدنيا، وأوصيهم بالاعتصام بحبل الله عز وجل في عقائدهم وعباداتهم ومنهاجهم وأخلاقهم وفي سائر شئون الحياة، ثالثاً أوصيهم بالتآخي في الله، والتعاطف والتراحم حتى يصيروا كالجسد الواحد كما قال رسول r: (إنما المؤمنون كالجسد الواحد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى)، هذا مطلوب إلى أبعد الحدود خاصة في أيام الفتن وأيام المحن، لابد من التآخي والتلاحم والتعقل في الأمور والابتعاد عن العواطف العمياء وعن التعصبات، أن يكونوا عقلاء ونبلاء ونبهاء وأن لا يستفزهم الشيطان (وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوّاً مُبِيناً)، (وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ * وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ)، هذه نصيحتي لنفسي ولأخواني، أوصيهم بالابتعاد عن أسباب الفرقة كل ما يؤدي إلى الفرقة والتنافر والتدابر والتقاطع، فهذا يجب الابتعاد عنه، ونحن ندعي أننا سلفيون وأننا نعمل بالكتاب والسنة وأننا ندعوا إلى جمع كلمة المسلمين على كتاب الله وعلى سنة رسول الله r فإذا بكثير منا مع الأسف الشديد يذهب هنا وهناك ولا يبالي بما يحصل من الفرقة والمشاكل والتحاسد والتباغض نسأل الله العافية، أنصح أخواني في أندونيسيا وأنصح أخواني في اليمن وأنصح أخواني السلفيين في كل مكان أن يتقوا الله في هذه الدعوة وأن يتلاحموا فيما بينهم وأن يتآخوا وأن يتناصحوا بالحكمة والموعظة الحسنة والابتعاد عن الأحقاد والضغائن والتشهير وما شاكل ذلك، أوصي كل الأطراف وفي كل مكان بهذه الأمور المفروضة علينا ليست تطوعاً منا وإنما الله أوجبها حماية لهذا الدين وحماية لهذه العقيدة وحماية لهذا الجمع الطيب من التشتت والتفرق، وأنتم تعرفون أن الأعداء كلهم وجهوا سهامهم إلى الدعوة السلفية علينا أن نتراحم وأن نتعاطف وأن نتكاتف وأن نقف صفا واحدا نرفع راية الإسلام وراية التوحيد وراية السنة، ونذب عن ذلك بالدليل والبرهان وبالحجة والبيان، وإذا كنا متلاحمين ومتآخين اجتمع الناس لما نقول وتقبلوا منا ما ندعوهم إليه، وإذا رأوا أننا من أكثر الناس تفرقاً وتمزقاً نفروا عنا وقالوا: لو كان هؤلاء على حق لما حصل هذا التفرق بينهم ولما حصلت هذه الاختلافات بينهم، (رَبَّنَا لا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ) (الممتحنة:5)، فهذه فتنة بارك الله فيك استعاذ منها إبراهيم ومن معه استعاذوا بالله أن يكونوا فتنة للذين كفروا، فلا تكونوا أيها السلفيون في كل مكان فتنة للذين كفروا ولأهل البدع والأهواء، فإن تفرقكم والله فتنة والله يفرح الأعداء ويجرّؤهم على هذه الدعوة وعلى الطعن فيها وفي سلفنا الصالح. نسأل الله تبارك وتعالى أن يؤلف بين القلوب وأن يجعل منا جميعا آذانا صاغية وقلوبا واعية منقادة لله تبارك وتعالى، مبتعدة عن أسباب الفرقة والخلاف، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم. والسلام عليكم وحمة الله وبركاته.

(Dikutip dari http://darussalaf.org/stories.php?id=1249. Diterjemahkan oleh al Ustadz Abu Karimah bin Jamal al Bugisi dari kaset nasehat asy Syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali melalui telepon untuk salafiyyin di Indonesia dan yang lainnya)
Cetak


>>


Right to copy - 2006-2009 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id

Friday, April 16, 2010

HIKMAH ILAHI DALAM HADITS LALAT

sender:
تيغوه فريهاندكو
March 27 at 12:27pm



عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينزعه، فإن في أحد جناحيه داء وفي الآخر شفاء ً." رواه البخاري في صحيحه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Apabila lalat masuk/terjatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah (lalat itu) kemudian buanglah, karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya ada penyakit (racun) dan pada sayap yang lainnya ada penawarnya.”(HR. al-Bukhari)

Takhrij Hadits:

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari 2/329, 4/71-72, ad-Darimi 2/99, Ibnu Majah 3505 dan Ahmad 2/398

Penjelasan Hadits

Hadits ini telah datang secara pasti dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan sebagian orang zaman dahulu dan sekarang telah mempermasalahkan hadits ini karena ketidak tahuan mereka. Dahulu Imam al-Khathabi rahimahullah berkata:”Telah memperbincangkan hadits ini orang-orang yang tidak memiliki bagian sama sekali dalam masalah ini, dan berkata:’Bagaimana berkumpul antara obat dan penyakit dalam kedua sayap lalat? Dan bagaimana ia tahu hal itu dari dirinya sendiri?...ini adalah soal orang jahil (bodoh) atau pura-pura bodoh. Karena sesungguhnya sebagian binatang telah terkumpul dalam dirinya dua hal yang bertentangan, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mempersatukan keduanya dan memaksanya untuk bersatu, dan menjadikan hal itu sebagai kekuatan pada binatang tersebut. Yang memberikan insting (ilham) kepada lebah untuk membangun sarangnya yang unik tentunya mampu untuk memberikan ilham kepada lalat untuk mendahulukan satu sayap dan mengakhirkan sayap yang lain.”sampai di sini perkataan Imam al-Khathabi

Pada zaman ini mereka yang mempermasalahkan hadits ini berkata:”Sesungguhnya hadits ini bertentangan dengan pokok-pokok penelitian ilmiah, bahwa lalat adalah sebab utama penularan penyakit, maka bagaimana mungkin pada lalat ada obat (penawar)nya? Mereka lupa bahwa sebagian besar masalah ilmiah yang mereka jadikan dalil, tidak lain hanyalah teori-teori semata, betapa banyak teori yang menyebutkan sesuatu bahwa hal itu benar pada hari ini, kemudian setelah berselang waktu baik lama maupun cepat ternyata hal itu salah.

Maka bagaimana mungkin teori-teori itu menjadi timbangan untuk menghukumi benar dan tidaknya nash-nash wahyu tersebut? Dan bagaimana mungkin orang yang ketidak tahuannya (ilmunya) lebih sedikit dari pengetahuannya (ilmu) menghukumi salah dan benar terhadap ilmu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala lewat lisan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?

Telah ditemukan sebuah penemuan baru dalam ilmu modern mukjizat Nabi dalam bidang kedokteran di dalam hadits ini. Majalah at-Tauhid di Mesir edisi 5 tahun 1397 H/1977M telah mempublikasikan hasil penelitian Dr.Amin Ridha (dosen bedah tulang di universtas Iskandariyah), yang menjelaskan bahwa ilmu modern menemukan bahwa dalam satu waktu yang bersamaan lalat membawa kuman-kuman yang menyebabkan penyakit, dan juga membawa bakteri “Faaj” yang melawan kuman-kuman tersebut. Bakteri “Faaj”maksudnya adalah pemangsa atau penerkam kuman-kuman.

Maka wajib bagi setiap muslim, untuk membenarkan setiap apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, baik hal itu ditetapkan dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan modern dan penelitian atau tidak, karena tidak ada perkataan yang dianggap kalau berbenturan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ataupun sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Wallahu A’lam.

Faidah Hadits

1.Suci atau tidak najisnya lalat, baik ketika hidup maupun mati, dan bahwasanya suatu benda tidak menjadi najis apabila lalat hinggap dan mati di atasnya, baik benda itu padat maupun cair.

2.Anjuran untuk mencelupkan/menenggelamkan lalat yang sudah terjatuh masuk ke dalam minuman apabila benda itu adalah cair, adapun kalau benda itu padat maka lalatnya dibuang dan daerah yang dihinggapi di sekitarnya.

3.Sesungguhnya pada salah satu sayap lalat ada penyakit dan yang satu sayapnya ada penawar/obatnya. Maka apabila dia terjatuh ke dalam minuman maka dia mengangkat sayap yang ada penawar dan mencelupkan sayap yang ada penyakitnya. Maka termasuk hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah ketika Dia memerintahkan hambanya untuk mencelupkan lalat yang mati di dalam minuman supaya, obat/penawar pada sayap yang satunya supaya menetralkan dan menawarkan penyakit yang ada pada sayap. Adapun menumpahkan minuman tersebut adalah bentuk penyia-nyiaan harta yang dilarang oleh Allah. Dan syrai’at islam bukan hanya untuk generasi (zaman) tertentu atau bangsa tertentu, karena kadang kala minuman memiliki nilai yang sangat berharga pada suatu zaman, tempat atau bangsa tertentu.

4.Dalam hadits ini ada mukjizat ilmiah, dan ilmu pengetahuan modern telah menemukan penemuan baru yang menetapkan adanya kebenaran secara ilmiah, bahwa ada penyakit berbahaya pada salah satu sayap lalat dan obatnya pada sayap yang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki rahasia-rahasia dan hikmah tertentu dalam menetapkan setiap syariat/hukum.

5.Para ulama mengqiyaskan lalat dengan binatang yang tidak memiiki darah yang mengalir dalam masalah kesuciannya.

Bantahan Terhadap Orang Yang Meragukan Hadits Lalat.

Sebagian orang Zindiq mencela dan mengkritik hadits ini, bahkan celaan itu sampai kepada tingkat mencela sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Untuk menjawab celaan mereka terhadap hadits ini adalah sebagai berikut:

1.Hadits di atas adalah salah satu hadits yang dipilih oleh Imam Bukhari dimasukan ke dalam kitab Shahihnya karena keshahihan hadits tersebut.

2.Hadits lalat ini tidak hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara tersendiri, akan tetapi ia juga diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu, da Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, sebagaimana dalam hadits dalam Musanad Imam Ahmad.

3. Siapa mereka (para pencela hadits lalat) sehingga mencela salah seorang Sahabat dari Sahabat-sahabat radhiyallahu'anhum, bahkan sampai mencela orang yang paling hafalan terhadap hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (yaitu Abu Hurairah) dan paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi. Yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mendoakanya supaya dia mudah menghafal dan susah untuk lupa,yang dia telah mengahiskan waktunya untuk hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tidak dilupakan dengan pertanian dan tidak dilalaikan oleh perdagangn. Dia yang siang dan malam harinya hanya digunakan untuk mengikuti dan memperhatikan apa yang diucapkan Nabi, kemudian dia bergadang pada malam harinya untuk menghafal hadits Nabi supaya menancap kokoh di hatinya.

4. Syaikh Abdurrahman bin Yahya al-Mu’alimi berkata:”Para ilmusan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui terhadap segala suatu, dan mereka masih secara terus-menerus melakukan penelitian-penelituian untuk menemukan penemuan-penemuan baru. Maka dengan iman apa mereka (pencela hadits Nabi) mengingkari dan menafikan kalau Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pengetahuan kepada Nabi dengan suatu pengetahuan yang belum diketahui oleh ilmu pengetahuan modern. Dan Allahlah pencipta, pengatur alam semesta Dia adalah pembuat syariat (hukum).”

5. Para ilmuwan kedokteran modern menetapkan bahwa pada salah satu sayap lalat ada penyakit dan pada sayap yang lainnya ada obatnya. Dengan ini maka jelaslah sebuah kebenaran, dan tidak ada yang perkataannya lebih benar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Sumber:
dari: Taudhih al-Ahkam syarah Bulughul Maram hadits no.12, Syaikh Ali Bassam dan artikel tentang hadits lalat di www.islamweb.net .

Thursday, April 15, 2010

Sikap Muslim Menghadapi Peperangan di antara Kaum Muslim

Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia suatu masa; ketika itu sebaik-baik harta seorang muslim adalah kambingnya yang dia gembalakan ke puncak-puncak bukit dan tempat-tempat tadah hujan, dia berlari menyelamatkan agamanya dari terpaan fitnah.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6130]).

Sikap Muslim Menghadapi Peperangan di antara Kaum Muslim


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada umatnya bagaimana menyikapi fitnah yang terjadi di antara kaum muslim ketika yang benar menjadi samar dan tidak jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru untuk menjauhi pertengkaran dan peperangan dalam kondisi seperti ini, mengasingkan diri di tempat yang jauh seperti menggembala kambing di puncak gunung atau berjihad melawan musuh di perbatasan negara Islam. Jika pedang-pedang pihak yang salaing berperang telah sampai, beliau melarang membela diri, walau hal ini menyebabkan kematian. Abu Bakrah meriwyatkan hadis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya akan terjadi banyak fitnah. Awas, kemudian akan terjadi sebuah fitnah yang saat itu orang yang duduk lebih baik dari yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik dari yang berusaha menujunya. Waspadalah, bila fitnah itu terjadi. Siapa memiliki unta, hendaklah ia pergi dengan kambingnya. Siapa memiliki tanah, hendaklah ia pergi menuju tanahnya." Seorang lelaki bertanya, "Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , bagaimana bila ia tak punya unta, kambing dan tanah?" Jawab beliau, "Ia bergantung pada pedangnya, lalu membatasi daerahnya dengan batu, kemudian ia coba selamatkan diri jika dapat menyelamatkan diri. Ya Allah, apa aku telah menyampaikan? Apa aku telah menyampaikan?" Seorang lelaki bertanya, " Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa pendapatmu bila aku tepakasa sampai pergi ke salah satu golongan atau salah satu kelompok, lalu seseorang memenggalku dengan pedangnya atau anak panah meluncur ke arahku, sehingga aku terbunuh?" Jawab beliau, "Ia menanggung dosanya dan dosamu, dan ia termasuk penghuni neraka." (35)

Dari Abu Said al-Khudri diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , bersabda "Tak lama lagi harta terbaik seorang muslim adalah kambing yang ia bawa ke puncak gunung dan tempat yang jauh sehingga ia dapat lari meyelamatkan agamanya dari fitnah-fitnah."(36)

Abu Hurairah meriyawatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, " Kalian akan dilingkupi oleh fitnah-fitnah seperti malam yang gelap. Orang yang paling selamat dari fitnah tersebut adalah pemilik keledai, yang memakan kambingnya yang jinak (untuk melangsungkan hidup) atau lelaki dari balik jalan yang memegang tali kekang kudanya, yang makan dari hasil tangkapan tombaknya."(37)

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada Abu Dzar tentang bagaimana bersikap pada saat terjadi fitnah. Abu Dzar bertanya, "Apa pendapat engkau bial manusia saling bunuh sampai Hijarat az-Zait (suatu tempat di Madinah) bergenangan darah. Apakah yang harus dilakukan?" "Diamlah di rumahmu dan tutuplah pintumu," jawab Rasul. Abu Dzar bertanya lagi, "Jika aku tidak punya tempat tinggal?" Beliau menjawab, " Datangilah orang-orang yang kau kenal. Masuklah bersama mereka." Abu Dzar bertanya, "Jadi, aku harus mengambil pedangku?" Jawab beliau, "Jika kau ikut serta bersama mereka. Namun, jika kau takut kilatan pedang, tutupilah wajahmu dengan ujung selendangmu, agar ia (pembunuhanmu) menanggung dosanya dan dosamu, dan ia termasuk penghuni neraka." (38)

Hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dijadikan argumentasi oleh para sahabat yang tidak ikut berperang pada masa fitnah. "Mereka adalah orang-orang yang tidak ikut peperangan bersama Ali ibn Abi Thalib, seperti Sa'ad ibn Abi Waqqsh, Abdullah ibn Umar, Muhammad ibn Masalamah, Abu Bakrah, dan lain-lain. Mereka berpendapat, setiap orang wajib menahan diri, bahkan walau ada orang yang ingin membunuhnya pun ia tidak perlu membela diri. Ada lagi yang berpendapat, setiap orang jangan masuk ke dalam fitnah, namun jika ada orang ingin membunuhnya maka ia harus membela diri. Jumhur sahabat dan tabiin berpendapat bahwa wajib membela kebenaran dan memerangi para pembangkang (bughat). Mereka menerapkan pengertian hadis-hadis mengenai fitnah tersebut ada orang yang tak mampu berperang atau yang tidak mengetahui siapa yang benar." (39)

At-Thabari berkata, "Pada dasarnya fitnah adalah ujian, dan mencegah yang mungkar adalah wajib bagi yang mampu. Jadi, siapa yang membantu pihak yang benar, ia tepat. Sebaliknya, orang yang membantu pihak yang salah berarti salah. Jika persoalannya sangat kompleks, maka kita dilarang berperang." (40)

Tak ragu lagi bahwa mencari yang benar dalam kondisi terjadi fitnah dan muncul hawa nafsu adalah sangat sulit. Yang paling aman adalah sikap menjauh dan mengasingkan diri agar seorang muslim tidak salah membunuh dan tidak menyakiti seorang muslim. Wallahu a'lam.

_______________________________________________________________________________

35....Diriwayatkan oleh Muslim, IV, h. 2212, no. 2887
36....Riwayat Bukhari, bab "Tinggal di kampung saat terjadi fitnah." lihat Fath al-Bari XIII h.40
37....Diriwayatkan dan disahihkan oleh Hakim serta disetujui oleh adz-Dzahabi. lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah III h. 466 dan IV h. 642
38....Hadis sahih, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibn Hibban dan al-Hakim. Lihat Shahih al-Jami' ash-Shaghir VI h. 258
39....Fath al-Bari XIII h. 33
40....Ibid, h. 31

Dinukil dari "Ensiklopedia" Kiamat....Dr' Umar Sulaiman al-Asyqar....h. 158-160


sender BY;
ummu Irfan

Tuesday, April 13, 2010

Lembutkan Hatimu!

by:
http://www.abumushlih.com/

Allah ta’ala berfiman (yang artinya), “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk secara khusyu’ mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang diwahyukan kepada mereka dan janganlah mereka berlaku seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al-Hadid : 16).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu adalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu, serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kemudian kamu lihat warnanya kuning dan kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulahkarunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”(QS. Al-Hadid : 20-21).

Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah nikmat yang banyak orang tetipu oleh keduanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6049]).

Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah kamu di dunia laksana orang yang asing atau musafir yang sedang bepergian.” Ibnu Umar berkata, “Jika kamu berada di waktu sore jangan menunda-nunda amal hingga pagi hari. Kalau kamu berada di waktu pagi jangan menunda-nunda amal hingga waktu sore. Manfaatkan kesehatanmu sebelum tiba sakitmu. Dan gunakan masa hidupmu sebelum tiba matimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6053]).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Dunia pasti akan lenyap meninggalkan kalian, sedangkan akhirat menanti di hadapan kalian. Masing-masing dari keduanya memiliki anak keturunan. Jadilah kalian anak-anak pengejar akhirat, janganlah kalian menjadi anak-anak pemuja dunia. Sesungguhnya hari ini (dunia adalah waktu beramal dan belum ada hisab. Sedangkan esok hari (akhirat) adalah hisab tanpa ada kesempatan untuk beramal.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq).

Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta niscaya dia akan mencari lembah yang ketiga. Tidak ada yang dapat memenuhi (kerakusan) perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat bagi siapa saja yang mau bertaubat kepada-Nya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6072]).

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah amal salah seorang dari kalian itu bisa menyelamatkan dirinya.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga anda wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Tidak juga saya, hanya saja Allah telah mengaruniakan rahmat-Nya untukku. Lakukanlah yang ideal dan upayakanlah untuk mendekati ideal, segeralah beramal di waktu pagi dan sore, dan dengan memanfaatkan sedikit waktu di akhir malam. Sedang-sedanglah, niscaya kamu akan sampai.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6098]).

Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Akan masuk surga tujuh puluh ribu orang di antara umatku tanpa hisab, mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak menganggap sial, dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [60107]).

Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berni menjamin untukku menjaga sesuatuyang terletak di antara kedua jenggotnya, dan di antara kedua kakinya, maka aku berani untuk menjaminkan baginya surga.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6109]).

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu di antara tujuh golongan orang yang akan diberi naungan Allah pada hari kiamat adalah; seorang yang mengingat Allah lantas kedua matanya pun mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6114]).

Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim sejati adalah yang orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya, sedangkan orang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6119]).

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6120]).

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka itu diliputi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan surga diliputi oleh hal-halyang disenangi.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6122]).

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang di mata kalian lebih ringan daripada rambut, namun bagi kami di masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam perbuatan itu termasuk perkara yang membinasakan.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq).

Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia suatu masa; ketika itu sebaik-baik harta seorang muslim adalah kambingnya yang dia gembalakan ke puncak-puncak bukit dan tempat-tempat tadah hujan, dia berlari menyelamatkan agamanya dari terpaan fitnah.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq [6130]).

www.abumushlih.com

Monday, April 12, 2010

Mengapa kita harus menamai diri kita Salafy

Penulis : Syaikh Al Albani rahimahullah


Mengapa kita memakai nama Salafy ? apakah penamaan itu bukan termasuk ajakan kepada hizbiyah atau thaifiyah (seruan untuk berfanatik kepada kelompok tertentu) ataukah merupakan kelompok baru dalam Islam? Sesungguhnya istilah Salaf sudah dikenal dalam bahasa Arab maupun dalam syariat Islam. Namun yang kita utamakan disini adalah pembahasan nama tersebut dari segi syariat.

Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata kepada Fathimah Radhiallahu anha: “Bertakwalah kepada Allah (wahai Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.”

Dan para ulama pun sangat sering menggunakan istilah salaf sehingga terlalu banyak untuk dihitung. Dan cukuplah salah satu contoh yang biasa mereka gunakan sebagai hujjah untuk memerangi bid’ah: “Segala kebaikan adalah dengan mengikuti jejak Salaf. Dan segala kejelekan ada pada bid’ahnya kaum khalaf. Tetapi ada sebagian orang yang mengaku ulama (ahlul ilmi) menolak penisbatan (penyandaran) diri kepada Salafi ini. Mereka menganggap penisbatan ini tidak ada asalnya sama sekali! Menurut mereka, seorang muslim tidak boleh mengucapkan : “Saya pengikut para Salafus Shalih dalam segala apa yang ada pada mereka baik dalam beraqidah, ibadah maupun berakhlak.”

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini, kalau memang demikian yang mereka maksudkan, menunjukkan adanya tindakan untuk melepaskan diri dari pemahaman Islam yang shahih (benar) sebagaimana yang dipahami dan dijalani oleh salafus shalih dan pemimpin mereka Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam.

Seperti tersebut dalam hadits mutawatir yang terdapat dalam shahihain (Bukhari-Muslim) dan lain-lain bahwa Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para Shahabatku), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in)”.

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh melepaskan diri dari penisbatan kepada Salafus Shalih. Sebab tidak mungkin para ulama akan menisbatkan istilah salaf kepada kekafiran maupun kefasikan. Sementara orang-orang yang menolak penamaan itu sendiri, apakah mereka tidak menisbatkan dirinya kepada salah satu madzhab yang ada? Baik madzhab yang berhubungan dengan aqidah maupun fiqih? Mereka ini kadang-kadang ada yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyah atau Maturudiyah.

Ada pula yang menisbatkan dirinya kepada para ahlul hadits seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, atau Hambaliyah yang (kelima madzhab yang terakhir ini) masih termasuk dalam lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyah atau madzhab imam yang empat (al-Aimmah al-Arba’ah) tidak diragukan lagi bahwa mereka itu menisbatkan diri kepada person atau orang-orang yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan), meskipun diantara mereka terdapat ulama yang benar.

Alangkah lebih baik kalau sekiranya mereka mengingkari penisbatan kepada orang-orang yang tidak ma’shum tersebut. Adapun orang yang menisbatkan diri kepada salafus shalih, sesungguhnya dia telah menisbatkan dirinya kepada yang ma’shum (yakni Ijma’ para shahabat secara umum). Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan ciri-ciri Al-Firqah An-Najiyah (golongan yang selamat), yaitu mereka yang senantiasa berpegang kepada sunnah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para Shahabatnya Ridhwanullah ‘alaihim ‘ajma’in.

Barangsiapa berpegang teguh kepada sunnah mereka, maka dia pasti akan mendapat petunjuk dari Rabbnya.

Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh jalan Al-Firqah An-Najiyah.

Sedangkan orang yang menisbatkan dirinya kepada selain mereka, tidaklah demikian keadaannya. Karena dalam hal ini dia hanya mempunyai dua alternatif.

Pertama, boleh jadi dia menisbatkan diri kepada seseorang yang tidak ma’shum.

Kedua, dia menisbatkan dirinya kepada orang-orang yang mengikuti madzab tersebut yang tentu saja tidak ada kema’shuman sama sekali.

Sebaliknya para shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan merupakan orang-orang yang terpelihara dari kesalahan. Dan kita telah diperintahkan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para shahabatnya. Hendaklah kita senantiasa konsisten terhadap pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj (metode pemahaman) para shahabat. Agar kita tetap berada di dalam”al-’ishmah” (terlindung dari kesesatan) dan tidak menyimpang dari manhaj mereka, dengan memakai pemahaman sendiri yang sama sekali tidak didukung oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kemudian, mengapa tidak cukup bagi kita dengan hanya menisbatkan diri kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, tanpa pemahaman Salafus Shalih? Maka dalam hal ini ada dua sebab :

Pertama, sebab yang berhubungan dengan nash-nash syar’iah.

Kedua, sebab yang berhubungan dengan kenyataan yang ada pada kelompok-kelompok Islam.

Penjelasan.

1. Yang berhubungan dengan sebab pertama:

Kita temukan dalam nash-nash syar’iah, perintah untuk mentaati segala sesuatu yang disandarkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), bila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa:59)

Seandainya ada seorang Waliyul Amri (pemimpin kaum muslimin) yang telah dibaiat oleh kaum muslimin maka kita wajib taat kepadanya, sebagaimana kita wajib taat kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Meskipun dia dan para pengikutnya kadang-kadang berbuat salah. Kita wajib taat kepadanya untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan karena perselisihan tersebut, tetapi ketaatan itu harus dengan syarat yang sudah dikenal, yaitu:“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah.” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits no.197)

Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman : “Barang siapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalannya Sabilil Mukminin (para shahabat), maka kami biarkan dia tenggelam dalam kesesatan (berpalingnya dia dari kebenaran) dan kami masukkan ke neraka Jahannam. Dan itu merupakan seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa’:115)

Sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Tinggi sehingga tidak mungkin Dia berkata tanpa faedah dan hikmah. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa penyebutan Sabilul Mukminin (jalannya orang-orang mukmin) dalam ayat ini mempunyai hikmah dan faedah yang sangat tinggi.

Penyebutan ini menunjukkan bahwa di sana ada suatu kewajiban yang sangat penting, yaitu : ittiba’ kita terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah harus sesuai dengan manhaj yang dipahami dan dijalankan oleh generasi awal kaum muslimin, para shahabat ridhwanullah alaihim kemudian generasi berikutnya (para tabi’in), kemudian generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in). Dan seruan inilah yang senantiasa dikumandangkan oleh Da’wah Salafiyah sekaligus menjadi rujukan utama mereka, baik dalam asas dakwah maupun dalam manhaj tarbiyah.

Sesungguhnya dakwah Salafiyah pada hakekatnya hendak menyatukan umat Islam, sedangkan dakwah-dakwah yang lain justru sebaliknya memecah-belah umat. Allah Ta’ala berfirman : “Dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar.”(At-Taubah:119)

Maka barang siapa yang ingin memisahkan Al-Kitab dan As-Sunnah di satu sisi dan para Salafus Shalih di sisi lain, dengan memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak sesuai dengan pemahaman mereka, maka selamanya dia tidak akan menjadi orang yang shadiq (benar).

2. Yang berhubungan dengan sebab kedua.

Kelompok-kelompok dan partai yang ada pada zaman ini tidak mau beralih secara total kepada Sabilul Mukminin yang tersebut pada ayat di atas, yang hal ini diperkuat oleh beberapa hadits. Antara lain hadits “Iftiraqul Ummah” (perpecahan umat) menjadi 73 firqah (golongan), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yang ciri-ciri mereka telah disebutkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam : “Golongan itu ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para shahabatku hari ini.“(lihat : Silsilah Al-Hadits Ash-Shohihah, Syaikh Al-Albani no 203 & 1192)

Hadits ini serupa dengan ayat di atas (QS. An-Nisa: 115), dimana keduanya menyebutkan Sabilul Mukminin. Kemudian dalam hadits lain dari Irbadh bin Sariyah, Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku“(lihat:Irwa’ul Ghalil,Al-Albani no 2455)

Berdasarkan keterangan di atas, maka di sana ada sunnah yang harus kita pegang teguh yaitu sunnah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, kita wajib kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Sabilul Mukminin (jalannya para shahabat). Tidak boleh kita mengatakan: “Kami memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman sendiri, tanpa memandang sedikitpun pada pemahaman Salafus Sholih.”

Pada zaman sekarang ini, kita harus melakukan bara’ (pemisahan diri) yang betul-betul bisa membedakan diri kita dengan golongan sesat lainnya. Tidak cukup bagi kita hanya dengan mengucapkan:”saya muslim” atau “madzhabku Islam”, sebab golongan-golongan yang sesatpun menyatakan demikian. Seperti kaum Syiah Rafidhah, Ibadhiyyah, Qadiyaniyyiah (Ahmadiyah) maupun golongan-golongan sesat lainnya. Sehingga apa bedanya kita dengan golongan sesat tersebut?

Bila kita mengatakan : “Saya seorang muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Ucapan ini masih belum cukup karena kelompok-kelompok (sesat) seperti Asy’ariyah, Maturudiyah, dan kaum Hizbiyah, mereka juga mengaku mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sehingga tidak diragukan lagi bahwa penamaan yang jelas dan gamblang serta dapat membedakan antara golongan yang selamat dengan golongan yang sesat ialah dengan mengatakan: “Saya seorang muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj Salafus Shalih” atau lebih singkatnya: “Saya Salafi!”

Oleh sebab itu, sesungguhnya kebenaran yang tidak bisa disangsikan lagi ialah : tidak cukup kita hanya bersandar dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa tuntunan dari manhaj Salafus Shalih, baik dalam pemahaman dan pola pikir, dalam ilmu dan amal, maupun dalam dakwah dan jihad.

Kita semua mengetahui bahwa mereka semua (para Salafus Shalih ridhwanullah alaihim ajma’in) tidak fantaik terhadap satu madzhab atau kepada individu tertentu. Sehingga kita tidak pernah menemukan di antara mereka ada yang bersikap fanatik tergadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, ataupun Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhum.

Bahkan sebaliknya seorang diantara mereka jika memungkinkan untuk bertanya kepada Abu Bakar atau Umar atau Abu Hurairah, maka mereka akan bertanya kepadanya (tanpa memilih-milih). Semua itu mereka lakukan karena mereka meyakini bahwa tidak boleh seseorang memurnikan ittiba’nya kecuali kepada seorang yaitu Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab beliau salallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berkata menurut hawa nafsunya, melainkan hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.

Kalaupun kita bisa menerima bantahan orang-orang yang mengkritik pemahaman salafi, sehingga kita cukup hanya menamakan diri dengan istilah muslim saja, tanpa menisbatkan diri kepada Salafus Shalih meskipun penisbatan tersebut merupakan penisbatan yang mulia dan shahih. Lantas apakah dengan demikian orang-orang yang mengkiritik itu bersedia melepaskan diri dari penamaan terhadap kelompok-kelompok, madzhab-madzhab, thariqat-thariqat mereka meskipun penisbatan itu semua tidak syar’i dan tidak shahih?

“Cukuplah bagimu perbedaan diantara kita ini. Dan setiap bejana akan memancarkan air yang ada di dalamnya.” Allahlah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan Dialah tempat meminta pertolongan.

(Dikutip dari Majalah Salafy- Edisi Perdana/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, hal 8-10)

Sumber : Salafy.or.id
Penulis : Syaikh Al Albani rahimahullah
Judul: Mengapa kita harus menamai diri kita Salafy

Abdullah bin Saba’ – Tokoh Nyata yang Difiktifkan


Abu Al-Jauzaa'
01 April 2010

Banyak sudah ulama dan referensi Ahlus-Sunnah yang menyebutkan sosok ‘Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh
Yahudi pembuat agama Syi’ah. Namun bagi orang Syi’ah sendiri – terutama golongan kontemporer – saling berlomba untuk memberikan bantahan tentang hal itu. Mereka mengklaim Ahlus-Sunnah telah mereka-reka tokoh ini karena permusuhan mereka terhadap Syi’ah. Banyak sudah tulisan mereka sebar, dan tidak sedikit kaum muslimin yang bodoh tertipu dengan segala
bualan mereka. Mereka (kaum muslimin yang bodoh dan tertipu) itu tidak tahu bahwa sebenarnya tokoh ‘Abdullah bin Saba’ bukanlah tokoh fiktif, bukan pula hasil rekayasa Ahlus-Sunnah.

Oleh karena itu, di sini sedikit akan saya tulis beberapa keterangan mengenai ‘Abdullah bin Saba’ dari buku-buku induk referensi Syi’ah. Biar tidak terlalu berbusa-busa dalam bermuqaddimah, langsung saja saya tuliskan :

1. Dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata :إن عبد الله بن سبأ
كان يدعي النبوة، ويزعم أن أمير المؤمنين هو الله - تعالى عن ذلك - فبلغ
ذلك أمير المؤمنين عليه السلام فدعاه وسأله فأقر بذلك وقال : نعم أنت هو،
وقد كان قد ألقي في ورعي أنك أنت الله وأني نبي، فقال أمير المؤمنين عليه
السلام : ويلك قد سخر منك الشيطان، فارجع عن هذا ثكلتك أمك وتب، فأبى،
فحبسه، واستتابه ثلاثة أيام، فلم يتب، فأحرقه بالنار، وقال : أن الشيطان
استهواه، فكان يأتيه ويلقي في روعه ذلك.

“Sesungguhnya ‘Abdullah bin Saba’ mendakwakan nubuwwah dan mengatakan Amiirul-Mukminiin (‘Aliy bin Abi Thaalib) adalah Allah – Maha Tinggi Allah atas tuduhan itu - . Khabar itu pun sampai kepada Amiirul-Mukminiin. Beliau memanggilnya dan mengkonfirmasikannya. Ia (‘Abdulah bin Saba’) berkata : ‘Benar, engkau adalah Allah. Telah dibisikkan ke dalam hatiku bahwa engkau adalah Allah dan aku adalah nabi’. Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam berkata : ‘Celaka kamu,
syaithan telah menundukkanmu’. Rujuklah dari perkataanmu, ibumu pasti binasa, dan bertaubatlah !’. Ia menolak (untuk bertaubat), lalu ia dipenjara dan diminta untuk bertaubat dalam waktu tiga hari. Namun ia tidak mau bertaubat juga, sehingga (dijatuhi hukuman) dibakar dengan api. Amiirul-Mukminiin berkata : ‘Syaithan telah menguasai dirinya. Ia datang kepadanya (Ibnu Saba’) dan membisikkan ke dalam hatinya hal tersebut”.

Dari Abu ‘Abdillah, bahwasannya ia berkata :لعن الله عبد الله بن
سبأ، إنه ادعى الربوبية في أمير المؤمنين عليه السلام، وكان
والله أمير المؤمنين عليه السلام عبدًا لله طائعًا، الويل لمن كذب علينا،
وإن قومًا يقولون فينا ما لا نقوله في أنفسنا نبرأ إلى الله منهم، نبرأ إلى
الله منهم.

“Allah melaknat ‘Abdullah bin Saba’. Sesungguhnya ia mendakwakan Rububiyyah kepada Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam, sedangkan Amiirul-Mukminiin – demi Allah – hanyalah seorang hamba yang mentaati Allah. Neraka Wail adalah balasan bagi siapa saja yang berdusta atas nama kami.
Sesungguhnya telah ada satu kaum berkata-kata tentang kami sesuatu yang kami tidak mengatakannya. Kami berlepas diri kepada Allah atas apa yang mereka katakan itu, kami berlepas diri kepada Allah atas apa yang mereka katakan itu”.

[Ma’rifatu Akhbaarir-Rijaal oleh Al-Kasysyiy, hal. 70-71].

Kitab Rijaalul-Kasysyiy ini termasuk kitab Syi’ah yang pertama dan diakui dalam ilmu rijaal.

2. Al-Maamiqaaniy berkata :عبد الله بن سبأ الذي رجع إلى الكفر
وأظهر الغلو.

“Abdullah bin Saba’ yang dikembalikan kepadanya kekufuran dan sikap berlebih-lebihan yang sangat terang”.

Lalu ia berkata :غالٍ ملعون، حرقه أمير المؤمنين عليه السلام بالنار،
وكان يزعم أن علياً إله، وأنه نبي.

“Orang yang berlebih-lebihan lagi terlaknat.
Amiirul-Mukminiin telah membakarnya dengan api. Ia mengatakan bahwa ‘Aliy adalah Tuhan, dan ia adalah nabi”.

[Tanqiihul-Maqaal fii ‘Ilmir-Rijaal, 2/183-184].

Al-Maamiqaaniy merupakan salah seorang ulama besar
Syi’ah dalam ilmu rijaal.

3. An-Naubakhtiy berkata :السبئية قالوا بإمامة علي، وأنها فرض من الله عز وجل
وهم أصحاب عبد الله بن سبأ، وكان
ممن أظهر الطعن على أبي بكر، وعمر، وعثمان، والصحابة، وقال : (إن عليا عليه
السلام أمره بذلك) فأخذه علي فسأله عن قوله هذا، فأقر به، فأمر بقتله،
فصاح الناس إليه : يا أمير المؤمنين ! أتقتل رجلاً يدعوا إلى حبكم أهل
البيت، وإلى ولايتك والبراءة من أعدائك ؟ فصيره إلى المدائن.
وحكى جماعة من أهل العلم أن عبد الله بن سبأ كان
يهوديًا فأسلم ووالى عليًا وكان يقول وهو على يهوديته في يوشع بن نون بعد
موسى عليه السلام بهذه المقالة، فقال في إسلامه في علي بن أبي طالب بمثل
ذلك، وهو أول من شهر القول بفرض إمامة علي عليه السلام وأظهر البراءة من
أعدائه....فمن هڽا قال من خالف الشيعة : إن أصل الرفض مأخوذ من اليهودية.

“Kelompok Saba’iyyah mengatakan keimamahan ‘Aliy dan hal itu merupakan satu kewajiban dari Allah ‘azza wa jalla. Mereka adalah pengikut ‘Abdullah bin Saba’.
Mereka adalah orang-orang yang menampakkan pencelaan terhadap Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan para shahabat. Ia (Ibnu Saba’) berkata :
‘Sesungguhnya ‘Aliy memerintahkannya’. Maka ‘Aliy menangkapnya dan mengkonfirmasi atas perkataannya tersebut, dan ia pun mengakuinya. Lalu ‘Aliy memerintahkan untuk membunuhnya. Orang-orang berteriak : ‘Wahai Amiirul-Mukminiin, apakah engkau akan membunuh orang yang menyerukan mencintai Ahlul-Bait, kepemimpinanmu, dan berlepas diri dari
musuh-musuhmu ?’. Maka ‘Aliy mengasingkannya ke daerah Madaain.

Diriwayatkan oleh sekelompok ahli ilmu (ulama) bahwasannya ‘Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang masuk Islam, lalu memberikan loyalitas kepada ‘Aliy. Saat masih dalam agama Yahudi, ia pernah berkata tentang Yusya’ bin Nuun sepeninggal Musa ‘alaihis-salaam perkataan seperti ini.
Lantas setelah masuk Islam, ia berkata tentang ‘Aliy seperti apa yang dikatakannya kepada Yusya’ bin Nuun. Ia adalah orang yang pertama kali mengumumkan pendapat wajibnya keimamahan ‘Aliy ‘alaihis-salaam dan menampakkan berlepas diri terhadap musuh-musuhnya…. Dari sinilah asal perkataan orang-orang yang menyelisihi Syi’ah (baca : Ahlus-Sunnah) : ‘Sesungguhnya dasar Rafidlah diambil dari paham Yahudi”.

[Firaqusy-Syii’ah, hal. 32-44].

An-Naubakhtiy ini menurut penilaian orang Syi’ah
adalah seorang yang tsiqah lagi diakui [lihat Jaami’ur-Ruwaat oleh Al-Ardabiiliy 1/228 dan Al-Kunaa wal-Alqaab oleh ‘Abbaas Al-Qummiy 1/148].

4. Sa’d bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy Al-Qummiy berkata saat memaparkan kelompok Saba’iyyah :السبئية أصحاب عبد الله
بن سبأ، وهو عبد الله بن وهب الراسبي الهمداني، وساعده على ذلك
عبد الله بن خرسي، وابن أسود، وهما من أجل أصحابه، وكان أول من أظهر الطعن
على أبي بكر، وعمر، وعثمان، والصحابة وتبرأ منهم.

“Kelompok Saba’iyyah adalah pengikut ‘Abdullah bin Saba’. Ia adalah ‘Abdullah bin Wahb Ar-Raasibiy Al-Hamdaaniy. Para pembantunya adalah ‘Abdullah bin Khurasiy dan Ibnu Aswad. Mereka berdua termasuk orang terkemuka dari kalangan pengikutnya. Ibnu Saba’ adalah orang yang pertama kali menampakkan celaan terhadap Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan para shahabat, serta berlepas diri dari mereka semuanya”.

[Al-Maqaalaatu wal-Firaq, hal. 20].

Al-Qummiy ini menurut penilaian orang Syi’ah termasuk orang yang tsiqah yang luas pengetahuannya tentang khabar/riwayat [lihat Jaami’ur-Ruwaat, 1/352].

5. Ibnu Abil-Hadiid menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin
Saba’ pernah berdiri ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib sedang berkhutbah.
Lalu ia (Ibnu Saba’) berkata :أنت أنت، وجعل يكررها، فقال له - علي - : ويلك من
أنا، فقال : أنت الله، فأمر بأخذه وأخذ قوم كانوا معه على رأيه.

“Engkau, engkau’. Ia (Ibnu Saba’) mengulang-ulang
perkataan itu. Maka ‘Aliy berkata kepadanya : “Celaka kamu, siapakah diriku ?”. Ibnu Saba’ menjawab : “Engkau adalah Allah”. ‘Aliy pun memerintahkan untuk menangkapnya dan orang-orang yang sependapat
dengannya”.

[Syarh Nahjil-Balaaghah, 5/5].

Kitab Syarh Nahjil-Balaghah karya Ibnu ‘Abdil-Hadiid salah satu kitab besar dan paling utama dalam syarah terhadap Nahjul-Balaaghah yang sering dijadikan rujukan kaum Syi’ah.
Namun seringkali didapati saat Ahlus-Sunnah mengutip sebagian isi dari kitab ini yang ‘merugikan’ mereka, orang-orang Syi’ah membantah bahwa Ibnu ‘Abdil-Hadiid adalah orang Sunniy (berpaham Mu’tazillah),
bukan Syii’iy. Tentu saja dalih mereka sangat lemah, karena beberapa kitab biografi Syi’ah sendiri menyebutkan bahwa Ibnu ‘Abdil-Hadiid adalah termasukorang yang ber-tasyayyu’ kepada ‘Aliy/Ahlul-Bait.

6. As-Sayyid Ni’matullah Al-Jazaairiy berkata :قال عبد الله بن سبأ
لعلي عليه السلام : أنت الإله حقًَا، فنفاه علي عليه السلام إلى المدائن،
وقيل : إنه كان يهوديًا فأسلم، وكان في اليهودية يقول في يوشع بن نون وفي
موسى مثل ما قال في علي.

“’Abdullah bin Saba’ berkata kepada ‘Aliy ‘alaihis-salaam : ‘Engkau adalah tuhan yang sebenar-benarnya’. Maka ‘Aliy mengasingkannya ke daerah Madaain. Dan dikatakan : ‘Sesungguhnya ia dulu seorang Yahudi lalu masuk islam. Saat masih beragama Yahudi ia pernah berkata terhadap Yusyaa’ bin Nuun dan Muusaa semisal apa yang dikatakannya kepada ‘Aliy”.

[Anwaarun-Nu’maaniyyah, 2/234].

Nii’matullah Al-Jazaairiy dikenal sebagai seorang muhaddits dan ulama besar yang diakui keilmuannya oleh kalangan Syi’ah

[lihat Al-Kunaa wal-Alqaab, 3/298 dan Safiinatul-Bihaar 2/601].

Keberadaan sosok ‘Abdullah bin Saba’ adalah sesuatu
yang telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah dan Syi’ah (mutaqaddimiin).
Dan inilah pernyataan tokoh Syi’ah kontemporer yang bernama Muhammad Husain Az-Zain :وعلى كل حال فإن الرجل - أي: ابن سبأ - كان في عالم
الوجود، وأظهر الغلو، وإن شك بعضهم في وجوده وجعله شخصاً خيالياً.. أما نحن
- بحسب الاستقراء الأخير - فلا نشك بوجوده وغلوه

“Maka, sesungguhnya sosok laki-laki ini – yaitu Ibnu
Saba’ – diketahui benar adanya dan menampakkan sikap berlebih-lebihan (ghulluw). Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka (orang-orang Syi’ah)
ragu-ragu akan keberadaannya sehingga menjadikannya sebagai sosok khayalan…..Adapun kami, sesuai penelitian termuktakhir, tidak ragu akan
keberadaannya dan sikap berlebih-lebihannya”

[Asy-Syii’ah wat-Taariikh, hal. 213].

Dari sini kita dapatkan beberapa point sebagai
berikut :

1. ‘Abdullah bin Saba’ bukanlah tokoh/sosok khayalan sebagaimana klaim orang-orang Syi’ah belakangan
yang mulai resah tentang agamanya.

2. ‘Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang
kemudian (berpura-pura) masuk Islam untuk merusaknya.

3. Paham keimamahan ‘Aliy, pencelaan terhadap
Al-Khulafaaur-Raasyidin (kecuali ‘Aliy) dan para shahabat berasaldarinya.

4. ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berlepas diri dari paham Saba’iyyah yang dicetuskan oleh ‘Abdullah bin Saba’.Masih tidak yakinkah kita bahwa ajaran Syi’ah yang ada sekarang ini merupakan buah ajaran firqah
Saba’iyyah ?Semoga ada manfaatnya…….

[abul-jauzaa’ – http://abul-jauzaa.blogspot.com].

Friday, April 9, 2010

Muslimah Kok Berpacaran? Kalau Tidak Mau Bertaubat, Dijamin Bakalan Rugi Dunia Akhirat!!!

TAKEN FROM:


Abu-Ummu أبو أم حكيم
NOTE

Saat ini sulit mencari wanita yang di usia pubertasnya tidak memiliki pasangan alias pacar. Nampaknya, wanita kita sekarang ini sudah terjangkit budaya impor barat dan hampir tidak memiliki jati diri lagi. Sangat disayangkan sekali, sebab betapa Islam begitu menjaga kehormatan wanita.

Dulu di masa Jahiliyyah, wanita adalah aib bagi keluarga keluarga yang melahirkannya segera menguburkannya hidup-hidup karena takut malu. Seorang isteri jadi warisan anak-anaknya sepeninggal sang ayah; mau dijadikan isteri atau dibuang saja. Wanita hanyalah sebagai pelepas dahaga seksualitas laki-laki saja.

Setelah Islam datang, wanita demikian dimuliakan dan disanjung, ia dijadikan tempat berbakti utama bahkan 3x tingkatan di atas sang ayah, ia dijadikan nama surat dalam al-Qur'an, ia bahkan bisa masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki, ia juga bisa menjadi tiket masuk surga bilamana sang ayah berhasil mendidiknya dengan baik, ia kelak di akhirat akan dipertangung jawabkan oleh 3 ORANG lelaki sekaligus (ayahnya, saudara laki-lakinya dan suaminya) ..dan banyak lagi.

Namun, setelah pengangkatan dan penghormatan yang tidak pernah diberikan oleh agama manapun, nampaknya wanita-wanita muslimah sudah lupa diri, tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan Allah tersebut. Mereka nampaknya ingin kembali ke dunia hina seperti dulu masa Jahiliyyah, na'udzubillah...

Lihatlah pergaulan wanita kita sekarang ini yang sangat jauh dari prilaku orang beragama. Wanita dieksploitasi sedemikian rupa untuk kepentingan-kepentingan sesaat dan pelampiasan hawa nafsu dan materialistik belaka. Hampir di setiap tempat, wanita selalu ditemukan dalam lingkaran 'bupati' (buka paha tinggi-tinggi) atau paling tidak setingkat 'sekwilda' (sekitar wilayah dada).

Misi musuh-musuh Islam untuk menyeret umat ini ke jurang kehancuran tidak pernah berhenti dan salah satu sasaran pentingnya adalah para remaja muslimah sebab merekalah nantinya yang akan menjadi ibu-ibu rumah tangga dan pendidik bagi generasi Islam selanjutnya...Bilamana mereka ini berhasil diorbitkan sesuai selera mereka, maka tidak mustahil Islam di negeri ini hanya tinggal nama saja.

Kondisi memperihatinkan seputar pergaulan remaja sudah nampak sejak dari SD. Murid-murid SD sekarang tidak sama dengan murid-murid SD sekitar puluhan tahun lalu. Di samping, perkembangan postur tubuh yang lebih besar, perkembangan corak berpikir pun semakin bertambah. Kalau dulu, murid-murid SD tidak kenal apa itu 'cinta' tetapi sekarang bukan saja kenal artinya tetapi sudah melakoninya, salah satu indikatornya, apa yang terjadi terhadap seorang anak SD yang memperkosa anak SD perempuan. Nah, kalau demikian yang terjadi dengan murid SD saja, maka tentunya jangan ditanya apa yang terhadap anak SLTP, SLTA apalagi perguruan tinggi.

Cinta, Pacaran; itulah kata yang lebih dikenal oleh para remaja kita sekarang ini ketimbang kata-kata yang menjadi bagian dari ajaran agama mereka. Dua kata tersebut seakan sudah menjadi sarapan mereka di sekolah-sekolah melebihi mata pelajaran yang seyogyanya mereka timba.


Kondisi ini tentunya tidak datang begitu saja, ada proses di balik itu sebab tidak mungkin ada api kalau tidak ada asapnya. Kalau sepuluh tahun lalu, misalnya, musuh-musuh Islam melakukan proyek-proyek pengrusakan (dekonstruktif) secara diam-diam dan bergerilya, maka sekarang ini mereka tidak lagi demikian. Berbagai media mereka kuasai untuk menghancurkan moral generasi muda kita, termasuklah dengan menyeponsori hal-hal yang berbau 'cinta' 'asmara' 'pacaran' dan semisalnya, mulai dari tayangan di televisi, radio ataupu koran-koran.

Tanpa disadari, akibat pondasi 'aqidah remaja kita yang amat lemah dan kurangnya bimbingan agama oleh para orangtua mereka, mereka hanyut dengan permainan musuh-musuh Islam tersebut. Maka, cinta dan pacaran sudah tidak menjadi tabu lagi bahkan yang tabu adalah bila ada cewek atau cowok yang tidak suka pacaran dan tidak kenal cinta. Memang dunia sudah terbalik...

Ternyata, benar apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah terhadap umat ini, yaitu bencana yang namanya 'wanita.' Beliau menyatakan bahwa tiada bencanan yang beliau tinggalkan lebih dahsyat daripada fitnah wanita. Dan, setelah sekian hampir 15 abad, apa yang beliau khawatirkan itu sudah menjadi kenyataan. Tak heran, bilamana kata 'az-Zaaniyah' (wanita pezina) didahulukan penyebutannya atas kata 'az-Zaani' (laki-laki pezina), karena pada asalnya, sumbernya adalah wanita sekalipun laki-laki juga punya peran.

Sebab, andaikata wanita mau mena'ati ajaran agamanya dengan berdiam di rumah dan tidak keluar kecuali untuk hal-hal yang memang diperlukan dan tidak dapat harus dilakukannya; tentu akan lain ceritanya. Wanita-wanita akan begitu terhormat di masyarakat bukan lagi sebagai pajangan murahan yang berseliweran di sana-sini; pabrik-pabrik, otomotif, jamu, modeling, resepsionis, kantor-kantor gede...

Kembali ke masalah pacaran; sebenarnya apa untungnya hal itu bagi wanita? saya tidak menanyakannya kepada laki-laki sebab ia lebih sebagai konsumen belaka. Apakah laki-laki diuntungkan? Tentu, hitungan untung rugi tidak dapat kita takar dengan enak atau tidak enak, tetapi takaran untuk hal ini adalah dosa dan semua yang terlibat dalam pacaran adalah mendapatkan jatah dosa.
Tetapi masalahnya, karena takaran untung rugi itu selalu dipakai, maka dapat dikatakan bahwa yang rugi itu hanya kaum wanita...[titik]

Dia yang begitu suci, belum terjamah, badannya yang halus selalu dirawat dengan baik, suaranya yang merdu dan gaya berjalan yang begitu anggun, matanya belum melihat kepada hal yang diharamkan...Seharusnya, ini sudah lebih dari cukup baginya untuk menjadi incaran dan rebutan lawan jenisnya..Betapa tidak, barang 'yang tersimpan' dengan baik itu pastilah 'orisinil' dan itu adalah paling berharga bagi laki-laki yang baik, bahkan laki-laki buruk juga menginginkan itu...

Lalu, karena godaan nafsu; uang, jabatan, harta, reputasi, cita-cita, dia yang suci itu rela sedikit demi sedikit melepaskan kesuciannya; mulai dari kerudung hingga kepada yang paling berharga, mahkotanya 'keperawanan.'

Dia serahkan bukan pada sang kekasih yang sudah menjadi suaminya yang sah, tetapi kepada orang yang tidak tahu juntrungannya....Karena sedikit godaan; ganteng, berduit, dsb, tergodalah dan dengan mudah mau dipegangi, lalu dipeluk, lalu di....dan seterusnya meneteskan air mata tak berharga karena sudah 'direnggut.' Katanya, ingin minta pertanggungjawaban, tapi pertanggungjawaban apa? apakah laki-laki itu sudah menjadi suaminya sehingga harus bertanggungjawab?
Konyolnya lagi, laki-laki itu bukan hanya 'merenggut' dirinya tetapi yang lain dan yang lain....bunga-bunga lugu yang kini layu...
Lalu siapa yang berhak dipertanggungjawabi olehnya? A,B,C,D?

Akhirnya, setelah itu semua terjadi, tinggallah dua pilihan; daripada tanggung-tanggung dan sudah basah, lebih baik mencebur sekalian atau frustasi dan bunuh diri...Pilihan ketiga, hanya faktor hidayah ketika dia kembali kepada-Nya...

Setelah hilangnya 'mahkota' dia menjadi liar dan sebaliknya bukan dicari tetapi mencari.....Dia hanya mau mempermainkan setelah dipermainkan dan tidak berani serius lagi sebab tidak akan ada yang mau kecuali....

Menyesal....Itulah kata akhir yang akan menemani hidupnya......
Semoga hal ini menjadi pelajaran.....





Kutipan di: http://mx1.itb.ac.id/mailman/private/unair/

 
Powered by Blogger