Subscribe Twitter Facebook

Thursday, May 27, 2010

LIANG KUBUR AWAL PERJALANAN KITA DI AKHIRAT


LIANG KUBUR AWAL PERJALANAN KITA DI AKHIRAT

Khalifah kaum muslimin yang keempat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.

Suatu hari ada seorang yang bertanya:

تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟

“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?”
Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد منه

“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika
seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan
lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka
(siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)

Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia
telah masuk di alam kubur?


Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan
Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:

Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di
perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di
sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang
hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong
dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya
bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia
dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit
para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang.

Setelah itu turunlah malaikat pencabut
nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat
pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.

Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit.
Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa
siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’,
jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh.
Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’

Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas
datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya.
Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’
sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah
diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku
membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’.

Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar!
Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu
bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan
harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan
sepanjang mata memandang.

Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan
memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya
berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu
bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan
kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun
berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.

Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan
akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari
langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut
nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar.
Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di
muka bumi.

Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati
segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan
namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia,
mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan.

Rasulullah membaca firman Allah:

لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط

“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir)
pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)

Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di
bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah
ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau
diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)

Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah
dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah
rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali
bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’
“Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari
langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.

Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai
pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang
membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)

Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika
kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.

Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:
IkhlasSesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan landasan dua syarat di atas.

Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS.Al-Bayyinah: 5)

Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))

Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا
إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini
untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan
kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya,
amin.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi
Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya
Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)
***
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id


taken from:
Wall Photos by Ummu Hanin نن رشئد

Thursday, May 20, 2010

Apa Tujuan Diciptakannya Jin Dan Manusia ?


Apa Tujuan Diciptakannya Jin Dan Manusia ?

Penulis : Al Ustadz Hamzah

Banyak akal yang salah dalam menjawab pertanyaan ini dan banyak pemahaman yang membingungkan dalam perkara ini, kecuali akal yang tersinar wahyu Ilahi yang terbimbing dengan wahyu tersebut serta mengikuti para rosul-Nya.

Akal seseorang lemah dari keluasan pengetahuan tujuan diciptakannya jin dan manusia, oleh karena itu perlu mengetahuinya dari Kitabullah (Al Qur‘an) yang tidak ada kebathilan padanya yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan tentang tujuan penciptaan ini didalam firmanNya :
“ Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku, Aku tidak mengendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak mengendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku, Sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan Lagi Maha Sangat Kuat” (Adz Dzariat:56-58)

Berkata Al Imam Ibnu Katsir tentang tafsir ayat ini : “Bahawasanya Allah ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah hanya kepadaNya saja tidak ada sekutu bagi-Nya.

Barangsiapa mentaati-Nya maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang sempurna. Dan barangsiapa yang durhaka (menentang) kepada-Nya maka Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang sangat dahsyat. Dan Allah memberitakan bahwanya Dia tidak butuh kepada makhuk-Nya bahkan merekalah yang butuh kepada-Nya dan Dialah Yang menciptakan dan Yang memberi rizki mereka.

Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan makhluk untuk ibadah kepada-Nya. Dan ini konsekwensi akal yang sehat. Karena tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Dzat Yang mampu dalam mencipta dan memberi rizki, sebagaimana Allah Ta’ala firman:

“Berhala-berhala yang mereka ibadahi selain Allah itu tidak mampu dalam menciptakan (membuat) sesuatu apapun, sedang berhala- berhala tersebut dicipakan (dibuat oleh orang)”. (An Nahl:20)

Dan juga Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya yang kalian ibadahi selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepada kalian” (Al Ankabut:17)

Misi Diutusnya Para Rosul Allah yang menetapkan ibadah ini pada makhluk-Nya.Dia pulalah yang mengutus para Rosul-Nya untuk berdakwah atau menyeru ummatnya kepada peribadatan kepada Allah
semata, dan melarang dari peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

“Sungguh Kami mengutus seorang rosul pada setiap kelompok manusia untuk menyerukan beribadalah kepada Allah saja dan tinggalkan thoghut”. (An Nahl:36)

Dan juga Dia berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus seorang rosul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan padanya bahwa tidak dan sesembahan yang haq diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al Anbiya’:25)

Ibadah merupakan hikmah yang karenanyalah diciptakan jin dan manusia. Dan karena ibadah ini pulalah diciptakan langit dan bumi, dunia dan akhirat, jannah (surga) dan nar (neraka). Dan karena ibadah inilah Allah mengutus para rosul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, mensyariatkan hukum-hukum-Nya dan menjelaskan halal dan haram untuk menguji makhlukNya, siapa diantara mereka yang paling baik amalnya.

Pengertian ibadah

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: ”Ibadah adalah suatu nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhoi-Nya baik berupa ucapan maupun perbuatan baik yang tampak maupun yang tersembunyi”.

Asal ibadah adalah ketundukan dan perendahan diri. Suatu ibadah tidaklah dikatakan ibadah sampai diikhlashkan untuk Allah. Apabila ibadah itu tercampur suatu kesyirikan maka ibadah tersebut tertolak atau tidak diterima atas pelakunya dan ibadah tersebut batal dari asalnya, karena ibadah tersebut ketika itu tidak dinamakan ibadah syar’i.
Jadi suatu ibadah tidaklah dikatakan ibadah syar’i kecuali disertai dengan tauhid (mengesekan Allah dalam ibadah). Berkata Ibnu Abbas :
عِبَادَةُ اللهِ

تَوْحِيْدُ اللهِ

ibadatullah (beribadah kepada Allah) maknanya adalah
tauhidullah (mengesakan Allah dalam ibadah).


Pengertiaan Tauhid Dan Macam-Macamnya
At Tauhid adalah mengesakan Allah dalam perkara-perkara khusus bagiNya berupa ar-rubuyiah, al uluhiyah dan al asmaul husna.

Tauhud terbagi menjadi 3 macam :

a. Tauhid Rububiyyah,
mengesakan (Allah) dalam pencipataan, pemilikan dan pengaturan alam
semesta.Tauhid jenis ini diyakini oleh kaum musyrikin. Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman :
“Katakanlah siapa yang memberi rizki pada kalian dari langit dan bumi, Siapakah yang memiliki (menciptakan) penglihatan, Siapa yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapa yang mengatur segala urusan ? maka mereka (kaum musyrikin) menjawab “Allah”(karena mereka meyakini semua itu –red) maka katakannlah: kenapa kalian tidak bertaqwa kepad-Nya ? (Kemudian kaliaan mengikhlaskan ibadah hanya kepadaNya tiada sekutu bagiNya dan kalian meninggalkan sesembahan selain Allah)” (Yunus:31).

b.Tauhid Uluhiyyah,
yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, yaitu dengan tidak menjadikan
bersama Allah sesuatu yang diibadahi dan bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Tauhid jenis ini banyak diingkari dan ditentang oleh
kebanyakan makhluk. Oleh karena itu Allah mengutus para rosul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya.

Allah berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus seorang rosul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan padanya bahwa tidak dan sesembahan yang haq diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku” (Al Anbiya’:25)

c.Tauhidul Asma’ WasSifat,
yaitu mengesakan Allah dalam nama dan sifat yang Allah namai dan sifati pada dirinya didalam kitab-Nya atau melalui lisan Rosul-Nya ! .
Yang demikian ini dengan menetapkan apa yang Allah tetapkan dan
menafikan (meniadakan) apa yang Allah nafikan, tanpa tahrif dan
ta’thil, tanpa takyif dan tamtsil.( ) Tauhid jenis ini diyakini
sebagian musyrikin dan diingkari oleh sebagian yang lainnya.
Jika seseorang meyakini sifat-sifat yang Allah berhak mendapat sifat tersebut dan dia mensucikan Allah dari semua perkara yang Allah suci dari darinya serta dia menyakini bahwasanya Allah sajalah pencipta segala sesuatu maka tidaklah sebagai muwahhid sampai dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah.

Pengertian Syirik dan Macam- MacamNya
Syirik merupakan lawan tauhid. Syirik ada 2 macam:
a. Syirik Akbar
yaitu segala kesyirikan yang telah disebutkan dalam syariat yang
berkonsekwensi keluarnya seseorang dari agamanya.
b. Syirik Ashghor
yaitu segala amalan baik ucapan maupun perbuatan yang disebutkan dalam syariat pensifatan kesyirikan, akan tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari agamanya. Seperti riya’, bersumpah dengan selain Allah, ucapan seseorang “Kalau bukan karena Allah dan Karenamu, maka…”, dll.

Perbedaan Kedua macam Syirik Dan Kesamaanya
Syirik Akbar mengeluarkan seseorang dari agamanya, menggugurkan seluruh amalan, dan pelakunya kekal di nar (neraka) sedangkan syirik ashghor tidak mengeluarkan seseorang dari agamanya, hanya menggugurkan amalan yang dia berbuat syirik dalam amalan tersebut dan pelakunya tidak kekal di dalam nar (neraka).

Adapun kesamaannya, kedua-duanya tidak diampuni oleh Allah (jika dia meninggal dalam keadaan belum sempat bertaubat kepada Allah). Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Allah mengampuni dosa selain syirik bagi orang yang Allah kehendaki” (An Nisa’:48)

Dalam ayat tersebut Allah memberitakan bahwasanya Dia tidak mengampuni dosa syirik bagi yang tidak bertaubat darinya. Sedangkan dosa selain syirik maka berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, maka Allah ampuni dan jika Allah berkehendak lain, maka Allah mengadzabnya.

Mengapa Harus Bertauhid Dan Menjauhi Kesyirikan
Allah berfirman :
“Wahai manusia beribadahlah kalian kepada rabb kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa” (Al Baqoroh:21)

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku” (Adz Dzariat:56)

“Tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama (ibadah) ini untuk Allah dan berpaling dari seluruh agama yang menyelisihi agama tauhid” (Al Bayyinah:5)

Dan sangat banyak ayat-ayat tentang perintah beribadah kepada Allah, maksud ibadah yang karenanyalah diciptakannya jin dan manusia adalah mengesakan Allah dalam ibadah dan mengkhususkan Allah dalam seluruh ketaatan yang diperintahkan seperti sholat, shaum, zakat, haji, menyembelih, bernadzar, dan jenis-jenis ibadah yang lain. Sebagaimana Allah berfirman :
“Katakanlah, sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku untuk Allah Rabb semesta alam yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan karenanyalah (ikhlas dalam ibadah) aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri kepada Allah” (Al An’am:162-163)

Disamping Allah memerintahkan untuk bertauhid, Allah pulalah yang melarang lawan tauhid tersebut yaitu kesyirikan, sebagaiman Allah berfirman :
“Katakanlah : Kemarilah aku bacakan apa yang di haramkan atas kalian dari Rabb kalian yaitu: janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (Al An’am:151)

“Sesungguhnya masjid-masjid ini milik Allah maka janganlah kalian beribadah kepada sesuatu apapun bersama Allah” (Al Jin:18)

“Barangsiapa yang beribadah bersama Allah kepada sesembahan yang lain yang tidak ada dalil baginya tentang itu, maka sesungguhnya hisab (perhitungan)nya disisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung” (Al Mukminun:117)

“Yang berbuat demikian itulah Alloh Robbmu, hanya milik-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kalian berdo’a kepadanya selain Allah tidak memiliki sesuatu apapun walaupun setipis kulit biji kurma, jika kalian berdo’a kepada mereka, mereka tidak mendengar do’a kalian dan jika mereka mendengar, mereka tidak bisa mengabulkan do’a kalian. Dan dihari kiamat mereka mengingkari kesyirikan kalian. Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti Dzat Yang Maha Mengetahui” (Fathir:13-14)

Allah Azza Wa jalla menjelaskan dalam ayat ini bahwasanya sholat dan menyembelih untuk selain Allah dan berdo’a kepada mayit, berhala, pepohanan, dan bebatuan., semua itu adalah kesyirikan dan kekufuran kepada Allah. Dan seluruh yang diibadahi selain Allah seperti para nabi, malaikat , wali-wali, atau jin dan yang lainnya, mereka semua tidak bisa
memberikan mafaat dan menolak madhorot bagi penyembahnya. Mereka tidak bisa mendengar do’a pemyembahnya. Dan jika mereka mendengar, mereka tidak mampu mengambulkan.

Maka wajib bagi setiap mukallaf baik jin dan manusia berwaspada dari kesyirikan ini, memperingati dan menjelaskan bathilnya kesyirikan ini. Dan bahwasanya kesyirikan ini menyelisihi risalah para rosul yang menyeru kepada Tauhidullah dan mengikhlaskan ibadah untukNya.
Rosulullah ? tinggal di Makkah selama 13 tahun menyeru kepada tauhid dan memperingati manusia dari kesyirikan. Kemudian beliau hijrah ke Madinah menebarkan dakwah disana di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshor , berjihad di jalan Allah, menulis dan menjelaskan dakwah dan syariat yang beliau bawa kepada raja-raja dan tokoh-tokoh masyarakat. Beliau dan para shahabat bersabar dalam dakwah ini sampai menanglah agama Allah ini, dan manusia berbondong-bondong masuk kedalam Islam. Tersinarlah tauhid dan sirnalah kesyirikan di Makkah, Madinah dan seluruh kepulaun yang di kuasai oleh beliau dan yang dikuasai oleh para shahabat setelah beliau.Jayalah Islam dan muslimin disaat itu karena mereka berpegang teguh dengan tauhidullah dan meninggalkan kesyirikan.

“Dialah Dzat yang mengutus rosul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar Dia memenangkannya diatas seluruh agama, sekalipun orang musyrik itu benci”
(Ash Shoff:9) Wallahu A’lam Bish showab

Sumber : Buletin Al Ilmu Jember
ana copy dari ummu hanin note( barakallahu fikky)

Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa

Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa

Monday at 3:32pm

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rizki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan napas, ada nikmat yang tak terhingga. Dari mulai tidur, bangun dari tidur hingga tidur kembali, ada nikmat yang tiada terkira. Maka Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berulang-ulang menegaskan dalam surat Ar-Rahman:

فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua (bangsa jin dan manusia) dustakan?”

Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ini semestinya dihadapi dengan penuh rasa syukur. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:

َوَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)

Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.

Demikianlah keadaan anak manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.

Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. Beberapa di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:

1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.

Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullahu, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, “Aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah bersajak:

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي

فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي

وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ

وَ فَضْلُ اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ عَاصِ

“Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada Waki’

Maka ia memberi bimbingan kepadaku agar meninggalkan maksiat

Ia berkata, “Ketahuilah ilmu itu merupakan keutamaan

dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.” 1

2. Terhalang dari beroleh rizki dan urusannya dipersulit.

Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:

وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)

وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)

Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

3. Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.

4. Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.

Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.

5. Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.

6. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya. Mengapa demikian? Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:

أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ

“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (An-Nahl: 21)

Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.

Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:

يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 24)

7. Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf:

“Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”

8. Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.

9. Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.

Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَََّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut2 namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabbnya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410)

10. Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth.

Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.

Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.

Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.

11. Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.

Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.

وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ

“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (Al-Hajj: 18)

Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.

12. Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:



إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا

“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”

13. Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.

Sebagian salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hilang akalnya.”

Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala menyaksikan perbuatannya.

14. Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”3

15. Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Karena malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِيْنَ يَحْمِلُوْنَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُوْنَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُوْنَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِيْنَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيْلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ. رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ. وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.” (Ghafir: 7-9)

Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu hal. 85-99. Semoga dapat menjadi peringatan.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Lihat Diwan Asy-Syafi’i (45), Al-Fawa`id Al-Bahiyyah (223), dan Syarh Tsulatsiyyat Al-Musnad (1/769).
2 Yakni tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
3 Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an, 12/190.Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=505

Monday, May 17, 2010

Nightmares stopped after reading Quran German CONVERT TO ISLAM.



barakallahu fiik ya akhy fillah

im very happy to c dis video so touching

i shed tears when i watch this video

Berhaji, Diri Sendiri Dulu Atau Orang Tua?

Berhaji, Diri Sendiri Dulu Atau Orang Tua?
Posted: 10 Apr 2010 04:54 PM PDT

Apakah boleh kita menghajikan orang lain padahal kita sendiri belum haji?

Dhimas Ilham Sejati
Alamat: Pekalongan
Email: aaxxxx@yahoo.com

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menjawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya: “Kami ingin sekali mengetahui apa saja syarat-syarat seseorang agar boleh menghajikan orang lain?”

Beliau menjawab:
Orang yang mengganti atau mewakili haji orang lain harus telah melakukan ibadah haji untuk dirinya sendiri jika ia telah berkewajiban menunaikannya. Sebab ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa Syubrumah itu?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku –atau kerabatku-”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
“Mulailah dari dirimu sendiri.”[2]

Dan juga bukanlah merupakan cara pandang yang benar bila seseorang melakukan haji untuk orang lain, sementara dirinya sendiri belum menunaikan haji yang wajib.
Para ulama mengatakan, “Kalau seseorang melakukan haji untuk orang lain, sedangkan ia sendiri belum menunaikan haji untuk dirinya, maka ibadah haji yang ia kerjakan untuk orang lain akan jatuh pada dirinya sendiri yang bertindak sebagai pengganti haji orang lain. Ia pun harus mengembalikan semua biaya dan perbekalan haji kepada orang yang ia wakili.”


Syarat-syarat lainnya telah dikemukakan sebelumnya, yaitu harus seorang muslim, berakal dan mumayyiz (dapat membedakan yang baik dan buruk) dan itu merupakan syarat wajib untuk setiap ibadah.[3]

–Demikian fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah-
Pendapat yang mengatakan tidak boleh seseorang menghajikan orang lain sampai ia berhaji untuk dirinya sendiri adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali dan kebanyakan para ulama. Pendapat ini juga termasuk pendapat Ibnu ‘Abbas dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat beliau. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas tentang Syubrumah yang dikemukakan di atas.
Namun sebagian ulama lainnya yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa boleh saja menghajikan orang lain walaupun belum menunaikan haji untuk diri sendiri.

Pendapat kedua ini dinilai kurang tepat. Yang lebih tepat, hendaklah seseorang menunaikan haji untuk dirinya sendiri setelah itu baru menghajikan orang lain agar terlepas dari perselisihan ulama yang ada. Dan juga pendapat kedua ini dinilai lebih tepat karena pendapat sahabat Ibnu ‘Abbas lebih utama diikuti dari pendapat lainnya lebih-lebih tidak ada sahabat lainnya yang menyelisihi pendapat beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat pada kita, “Mulailah dari dirimu sendiri”, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.[4]
Wallahu a’lam bish showab.


[1] HR. Abu Daud 1811 dan Ibnu Majah 2903. Hadits ini masih diperselisihkan keshahihannya dan statusnya apakah marfu’ (sabda Nabi) ataukah mawquf (hanya perkataan sahabat).
[2] HR. Muslim no. 997
[3] Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Fiqhul ‘Ibadat, Darul Wathon, Riyadh
[4] Diolah dari penjelasan Abu Malik dalam Shahih Fiqih Sunnah, 2/168, Maktabah At Taufiqiyyah

Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST.
Artikel UstadzKholid.Com dan Rumaysho.Com

Kapan Zakat Pertanian Dibayarkan?

UstadzKholid



Kapan Zakat Pertanian Dibayarkan?

Posted: 08 Apr 2010 06:51 PM PDT
Apakah wajib zakat atas panen padi yang dihasilkan setelah 6 bulan, 4 bulan diairi hujan dan 2 bulan diairi dengan alat pengairan. Jika ya, berapakah kadarnya?
08135107xxxx

Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. menjawab:
Syariat islam telah mewajibkan zakat pada harta kita dan diantaranya adalah hasil pertanian yang dikeluarkan ketika panen atau setelah panen. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS Al-An’aam: 141)
Namun tentunya juga syariat menetapkan syarat-syarat yang harus diperhatikan setiap muslim yang ingin berzakat.


Diantara syarat kewajiban zakat hasil pertanian dan perkebunan adalah:


  1. Berbentuk biji atau buah-buahan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi
    لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ تَمْرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ،
    “Tidak ada pada biji-bijian dan kurma zakat hingga mencapai lima wasaq” (HR. Bukhari no.1459, Muslim no.979 )
  2. Dapat ditakar atau ditimbang, karena ukuranya dengan wasaq sehingga yang tidak ditakar dan ditimbang tidak diwajibkan zakat padanya.
  3. Dapat disimpan lama (Muddakhar), seperti gandum, beras, jagung, kurma, anggur kering dll.
  4. Tumbuh ditanam manusia dan memiliki pemilik.
  5. Mencapai nishab (standar zakat), yaitu seukuran 5 wasaq yang setara dengan 300 sha’ atau 750 kg (apabila satu sha’ = 2,5 kg), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
    لَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ…
    “Tidak ada dibawah lima wasaq zakat” (HR. Bukhari no.1447, Muslim no.979)

Apabila memenuhi syarat-syarat diatas maka ketika panen atau setelahnya wajib dikeluarkan zakat bila tanpa pembiayaan pengairan atau tadah hujan 1/10 atau (10%) dari hasil panen dan bila dengan adanya pembiayaan pengairan maka dikenakan 1/20 atau 5 % dari hasil panen. Hal ini dijelaskan dalam sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ : نِصْفُ الْعُشُرِ
“Pada pertanian yang disirami langit (hujan) dan mata air atau pengairan yang tidak membutuhkan pembiayaan maka sepersepuluh (10 %) dan yang disirami dengan pengairan yang butuh pembiayaan maka seperduapuluh (5 %)”. (HR Al-Bukhari no.1483)
Ukuran ini apabila tidak tercampur kedua system pengairan ini. Apabila tercampur antara tadah hujan dengan pengairan dengan biaya dalam satu usaha penanaman maka dapat dirinci sebagai berikut:
Apabila seimbang antara tadah hujan dengan pengairan dengan pembiayaan maka diambil 3/40 atau 7,5 % sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni (4/165) dan ada yang menukilkan ijma’ ulama atas hal ini.
Permasalahan yang saudara sampaikan ada pada keadaan perbedaan ukuran antara yang disiram dengan tadah hujan dan yang diairi dengan pembiayaan. Dalam hal ini para ulama menetapkan ukurannya terhadap mana yang lebih memberikan manfaat kepada tanaman tersebut. Apabila pertumbuhan tanaman dengan pembiayaan lebih banyak dari pertumbuhan dengan sebab tadah hujan maka yang dikeluarkan hanya 5 % saja sedangkan bila sebaliknya maka harus dikeluarkan 10 %.
Nah melihat keadaan saudara nampaknya tadah hujan lebih dominan dari pada pengairan dengan pembiayaan, sehingga saudara harus mengeluarkan 10 % dari hasil panen.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com

Thursday, May 6, 2010

Peringatan dari Bahaya Godaan Harta

Jum'at, 26 Februari 2010 - 17:38:45,
Penulis : Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc
Kategori : Khutbah
Peringatan dari Bahaya Godaan Harta



Khutbah pertama:

الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِالْأَمْوَالِ، وَأَبَاحَ لَنَا التَّكَسُّبَ بِهَا عَنْ طَرِيْقِ حَلاَلٍ، وَشَرَعَ لَنَا تَصْرِيْفَهَا فِيْمَا يُرْضِيْ الْكَبِيْرَ الْمُتَعَالَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَكْرَمُ النَّاسِ فِيْ بَذْلِ الدُّنْيَا عَلَى الْإِسْلاَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَأَدُّوْا مَا أَوْجَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ فِيْ أَمْوَلِكُمْ

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satu-Nya yang memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti jalannya.

Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa memohon rahmat serta pertolongan-Nya. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, manusia tentu tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena manusia pada asalnya adalah makhluk yang lemah. Saat dilahirkan, dia dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa serta tidak bisa memberikan manfaat bagi dirinya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya berbagai kenikmatan dan kemudahan untuk mendapatkan rezeki yang banyak dan beraneka ragam. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah mensyukuri pemberian-pemberian tersebut dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwa pemberian-pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa makanan, harta benda, anak, dan semisalnya merupakan ujian bagi manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Dan ketahuilah bahwa harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu tidak lain hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)

Disamping itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَفِتْنَةُ أُمَّتِيْ الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah dan fitnah umat-Ku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Hadirin rahimakumullah,
Godaan harta ini akan datang dari berbagai sisi. Di antaranya adalah dari cara mencarinya. Dari sisi ini, sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyariatkan berbagai cara dalam mendapatkan harta, yang semuanya dibangun di atas keadilan dan jauh dari perbuatan zalim, jahat, atau menyakiti orang lain.

Maka orang-orang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu akan senantiasa memerhatikan batasan-batasan syariat dalam mendapatkannya. Jauh dari unsur riba, judi, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya, yang semuanya termasuk dalam bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Mereka mengetahui bahwa hal ini dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka di antara kalian.” (An-Nisa’: 29)

Dengan sebab perhatian terhadap batas dan aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mencarinya, maka harta yang diperoleh pun menjadi barakah. Harta yang diperolehnya akan menjadi sebab kebaikan bagi yang memilikinya, baik saat diinfakkan, disedekahkan maupun di saat hartanya nanti menjadi warisan bagi ahli warisnya.

Sehingga hartanya menjadi kebaikan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sedangkan orang-orang yang tidak bertakwa, mereka tidaklah memedulikan halal atau tidaknya mata pencaharian mereka. Yang halal bagi mereka adalah segala cara yang bisa mereka lakukan, meskipun di dalamnya ada unsur penipuan, riba, judi maupun menzalimi orang lain. Sehingga hartanya pun tidak barakah dan tidak ada manfaatnya. Apabila dimakan atau diinfakkan maka dia telah memakan atau menafkahi dengan harta yang haram. Apabila disedekahkan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila meninggal dunia, maka hartanya akan menjadi sebab masuknya dia ke dalam neraka. Nas’alullaha as-salamah (Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari siksa neraka).

Hadirin rahimakumullah,
Godaan karena harta ini juga bisa datang dari sisi perhatian dan keinginan seseorang terhadapnya. Sehingga sebagian orang ada yang keinginannya terhadap harta membuat dirinya berambisi terhadapnya. Hal ini membuat kesibukannya hanyalah untuk mencari dunia. Dari saat memulai aktivitasnya setelah bangun tidur sampai dia kembali ke rumahnya untuk beristirahat, yang dipikirkannya hanyalah dunia.

Di saat duduk, berdiri, maupun berjalan, yang di hatinya hanyalah mencari dunia. Bahkan saat tidurnya pun yang diimpikan adalah mencari dunia. Lebih dari itu, saat shalat pun pikirannya dipenuhi dengan dunia. Seakan-akan dirinya diciptakan untuk sekadar mencari dunia. Padahal dengan perhatian dan keinginan yang berlebihan hingga melalaikan akhirat seperti itu, seseorang tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk dirinya. Maka orang yang demikian keadaannya, tentunya adalah orang yang tertipu serta terjatuh pada godaan dunia. Sehingga dia memusatkan seluruh pikiran dan kesibukannya untuk dunia. Dia menjadikan dunia bersemayam di hatinya sehingga melalaikan dia dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hadirin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Godaan harta juga akan muncul dari sisi penggunaannya. Dari sisi ini, kita dapatkan sebagian orang yang berharta memiliki sifat pelit sehingga tidak mau mengeluarkan zakatnya, tidak mau menjalankan kewajiban berinfak kepada kerabatnya yang wajib untuk dibantu, dan yang semisalnya. Sedangkan sebagian yang lainnya atau pada sisi lainnya, justru mengeluarkan hartanya tanpa ada perhitungan serta dihambur-hamburkan sia-sia. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam firman-Nya:

وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat haknya (mereka), (begitu pula) kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) sia-sia. Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan hartanya sia-sia adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al-Isra’: 26-27)

Berkaitan dengan ayat ini, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu dalam tafsirnya, sahabat Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
التَّبْذِيْرُ: الْإِنْفَاقُ فِيْ غَيْرِ حَقٍّ
“Menghambur-hamburkan harta adalah mengeluarkannya tidak pada tempatnya.”

Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata:
لَوْ أَنْفَقَ إِنْسَانٌ مَالَهُ كُلَّهُ فِي الْحَقِّ لَمْ يَكُنْ مُبَذِّرًا وَلَوْ أَنْفَقَ مُدًّا فِيْ غَيْرِ حَقِّهِ كَانَ تَبْذِيْرًا
“Seandainya seseorang mengeluarkan seluruh hartanya pada tempat yang benar, maka dia bukanlah seorang yang menghambur-hamburkan harta. Namun seandainya seseorang mengeluarkan satu mud/cakupan tangan (dari hartanya) untuk sesuatu yang tidak pada tempatnya, maka dia telah menghambur-hamburkan hartanya dengan sia-sia.”

Hadirin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Oleh karena itu, siapa pun di antara kita harus hati-hati dan senantiasa takut terkena godaan harta ini. Betapa banyak orang yang lebih berilmu dari kita telah terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan karena godaan ini. Bahkan ada pula orang yang dahulunya istiqamah membela As-Sunnah dan melawan kebatilan serta bid’ah, namun kala tergoda dengan harta, kemudian terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan. Hal itu di antaranya disebabkan oleh ketidakhati-hatian serta perasaan aman dari bahaya godaan harta.

Padahal harta secara umum akan menarik pemiliknya untuk memenuhi keinginan-keinginan syahwatnya. Maka akibat adanya kemampuan untuk memenuhi keinginannya, seseorang akan terseret untuk hidup bermewah-mewah yang kemudian membuat dirinya sombong dan angkuh, serta akhirnya membuat dirinya tidak peduli dengan kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berupaya untuk senantiasa takut dari bahaya fitnah yang ada di hadapan kita. Sikap hati-hati dan rasa takut ini, insya Allah akan menjadi sebab yang mendorong seseorang untuk berusaha mencari jalan keluar dari fitnah yang ada di hadapannya. Dengan sebab itu, dia pun akan senantiasa mengharapkan datangnya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang yang lalai dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merasa aman dari ancaman dan bahaya godaan, sangat besar kemungkinannya untuk terjatuh dan terbawa oleh godaan sehingga semakin jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ، وَتُوْبُوْا إِلَيْهِ يَتُبْ عَلَيْكُمْ؛ إِنَّهُ كَانَ تَوّاَباً

Khutbah kedua:
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، حَذَّرَنَا مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَالْعَلَنَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَرَ عِنْدَ ظُهُوْرِ الْفِتَنِ بِالْاِعْتِصَامِ بِالكِتَابِ وَالسُّنَنِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Hadirin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya jalan keluar dari berbagai fitnah atau ujian. Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa mengingat bahwa dunia yang kita sekarang berada di dalamnya adalah tempat ujian. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan ujian kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai kebaikan dan juga kejelekan, sehingga menjadi nampak serta terbedakanlah antara yang beriman dengan yang tidak beriman. Maka akan terus ada di muka bumi ini pertentangan dan perseteruan antara yang haq dengan yang batil, sejak diturunkan Nabi Adam ‘alaihissalam ke bumi, hingga waktu yang telah ditetapkan dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kebatilan akan terus dibawa oleh setan dan bala tentaranya baik dari kalangan jin maupun manusia, serta terus akan ditawarkan dengan berbagai cara dan upaya. Kebatilan akan ditampilkan oleh mereka seakan-akan sebagai sesuatu yang indah. Sedangkan kebenaran akan ditampilkan seakan-akan sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Maka akan tertipulah orang-orang tidak mau mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan lalai akan kehidupan yang selamanya di akhirat kelak. Adapun kebenaran, yaitu petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah diturunkan melalui Rasul-Nya, maka akan terus dibawa oleh para ulama. Sehingga akan selamatlah orang-orang yang mendapat hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena mengikuti jejak para ulama dalam menempuh kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui Rasul-Nya.

Hadirin rahimakumullah,
Setiap orang yang mengetahui dirinya dalam bahaya tentunya akan berusaha mencari jalan keluar dari bahaya tersebut. Maka ketahuilah, wahai kaum muslimin, yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa kita semuanya sedang dalam bahaya yang luar biasa besar dan sangat banyak ragamnya. Tidak ada yang bisa selamat kecuali yang mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah berupaya untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Upaya itu tidak lain adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah diturunkan melalui Rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ؛ كِتَابُ اللهِ
“Dan sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelahnya apabila kalian berpegang teguh dengannya, yaitu kitab Allah.” (HR. Muslim)

Di dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa berpegang teguh dengan Al-Qur’an adalah jalan keselamatan. Kewajiban berpegang teguh dengan Al-Qur’an berarti pula kewajiban berpegang teguh dengan Al-Hadits, karena di dalam Al-Qur’an juga ada kewajiban untuk menjalankan hadits. Dan sebaliknya, dengan berpaling dari keduanya maka seseorang akan tersesat dan tidak akan selamat dari berbagai fitnah yang akan dihadapinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى. وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى

Allah berfirman (kepada Adam dan Hawa): “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Sehingga jika datang kepadamu petunjuk-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, maka begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Thaha: 123-126)

Maka seseorang yang ingin selamat dari godaan, dia harus berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yaitu hendaknya dia senantiasa bersemangat dalam membaca dan mempelajarinya serta mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Dengan kembali dan berpegang teguh kepada keduanya, seseorang akan mengetahui bagaimana dia harus mencari harta dan bagaimana pula dia cara menginfakkannya.

Dengan kembali kepada keduanya, seseorang akan tahu apa akibat dari pelanggaran terhadap batas-batas syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa keutamaan orang yang senantiasa memerhatikan syariat dalam mendapatkan maupun menginfakkan hartanya. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan pertolongan-Nya dan memudahkan kita untuk senantiasa berada di atas syariat-Nya.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.


taken from;
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=938

Bisakah Kirim Pahala

Kamis, 04 Februari 2010 - 02:45:22, Penulis : Redaksi
Kategori : Problema Anda

Bisakah Kirim Pahala

Pertanyaan dari orang Sudan yang tinggal di Kuwait, ia mengatakan: “Apa hukumnya membaca Al-Fatihah untuk dihadiahkan kepada mayit, juga menyembelih hewan untuknya, demikian pula memberikan uang untuk keluarga mayit?”

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjawab:
Mendekatkan diri kepada mayit dengan sembelihan, uang, nadzar, dan ibadah-ibadah lainnya, semacam meminta kesembuhan darinya, pertolongan, atau bantuan, ini merupakan syirik akbar (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Tidak boleh bagi seorang pun untuk melakukannya, karena syirik adalah dosa dan kejahatan terbesar. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 116)

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya jannah (surga), dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An'am: 88)

Dan banyak ayat yang semakna dengannya. Maka yang wajib dilakukan adalah mengikhlaskan/meniatkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya, baik itu berupa sembelihan, nadzar, doa, shalat, puasa, atau ibadah-ibadah selainnya.

Di antara syirik juga adalah mendekatkan diri kepada para penghuni kuburan dengan nadzar atau makanan (sesajen), berdasarkan ayat-ayat yang lalu. Juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)

Adapun menghadiahkan Al-Fatihah atau selainnya dari Al-Qur’an kepada mayit, hal itu tidak ada dalilnya (landasan hukumnya dari Al-Qur’an atau Hadits). Maka yang wajib dilakukan adalah meninggalkan hal tersebut. Karena tidak pernah dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabatnya, sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut.

Yang disyariatkan adalah mendoakan untuk mayit dan menshadaqahkan untuk mereka dengan cara berbuat baik kepada para fakir miskin.

Dengan itu, seorang hamba mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon kepada-Nya agar pahalanya dijadikan untuk ayah atau ibunya, atau orang yang mati atau masih hidup selain keduanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”

Telah shahih bahwa seseorang berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ ْتُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ لَتَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan belum sempat berwasiat, dan aku kira kalau dia sempat bicara ia akan bersedekah, apakah dia dapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikian pula halnya menghajikan mayit serta mengumrahkannya juga membayarkan utangnya. Semuanya itu bisa memberi manfaat bagi mayit sesuai dengan keterangan yang datang dalam dalil-dalil syariat.

Adapun jika yang dimaksud penanya dengan pertanyaannya adalah untuk berbuat baik kepada keluarga mayit serta bersedekah dengan uang dan sembelihan, maka itu boleh bila mereka itu orang-orang fakir. Yang utama adalah tetangga dan kerabat membuatkan makanan di rumah mereka masing-masing lalu menghadiahkannya kepada keluarga mayit.

Karena telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ketika sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berita kematian Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dalam peperangan Mu’tah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kerabatnya untuk membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far dan beliau mengatakan: “Karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”

Adapun bila keluarga mayit yang membuat makanan untuk orang-orang (masyarakat) karena kematian (semacam peringatan tujuh hari, red.) maka itu tidak boleh. Hal itu termasuk amalan jahiliah, baik itu pada hari kematian, hari keempatnya atau kesepuluh atau setelah genap setahun. Semua itu tidak boleh. Ini berdasarkan riwayat yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata:

كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَهُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ


“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul ke keluarga mayit dan membuat makanan setelah pemakaman adalah termasuk niyahah1(meratapi mayit).”

Adapun jika ada tamu mendatangi keluarga mayit pada hari-hari berkabung (saat takziyah) maka tidak mengapa keluarga mayit membuat makanan untuk mereka sebagai suguhan untuk tamu. Sebagaimana tidak mengapa bagi keluarga mayit untuk mengundang siapa yang mereka kehendaki dari tetangga atau kerabat untuk makan bersama mereka dari makanan yang dihadiahkan kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang memberi taufiq.

Bolehkah bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an dan saya hadiahkan untuk ayah ibu saya, untuk diketahui bahwa keduanya ummi (tidak bisa baca tulis). Dan bolehkah saya khatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada orang yang bisa baca tulis tapi saya (memang) bermaksud menghadiahkannya kepadanya? Juga apakah boleh bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada lebih dari satu orang?

Jawab:
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjawab:
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia ataupun dalam hadits yang suci dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabatnya yang mulia, sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Qur’an Al-Karim untuk kedua orangtua atau untuk yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan membaca Al-Qur’an untuk diambil manfaat darinya, diambil faedah darinya serta untuk dipahami maknanya lalu diamalkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang berakal.” (Shad: 29)

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9)

قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
Katakanlah: “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (Fushshilat: 44)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya (amalan baca) Al-Qur’an itu nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (maknanya): “Bahwa nanti akan didatangkan (amalan baca) Al-Qur’an pada hari kiamat dan para ahli Al-Qur’an yang mengamalkannya, akan datang kepadanya surat Al-Baqarah, Ali Imran, keduanya akan membela para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804 dengan makna itu)

Jadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, dipahami, dan dipakai untuk ibadah dengan membacanya, serta memperbanyak membacanya. Bukan untuk menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat atau yang lain. Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan sandaran dalam hal menghadiahkan bacaan Al-Qur’an untuk kedua orangtua atau yang selain mereka. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan atas dasar ajaran kami maka itu tertolak.” (Shahih, HR. Muslim)

Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan: “Tidak mengapa menghadiahkan pahala Al-Qur’an dan amalan shalih yang lain.”
Mereka mengkiaskan (menganalogikan) nya dengan shadaqah dan doa untuk mayit. Akan tetapi yang benar adalah pendapat yang pertama (tidak boleh), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya.

Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu akan dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik). Juga, dalam hal ibadah tidak boleh digunakan qiyas (kias/analogi), karena ibadah itu berhenti pada tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan nash dari kalamullah atau hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna dengannya.

Adapun menyedekahkan untuk orang yang sudah mati dan yang lain, demikian pula mendoakan mereka, menghajikan orang lain oleh yang sudah haji untuk dirinya sendiri, juga mengumrahkan oleh yang sudah umrah untuk dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa bagi yang telah wafat dan punya utang, maka semua ibadah ini (boleh), telah shahih hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam... Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang memberikan taufiq. (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Al-Mutanawwi’ah)

Pendapat Al-Imam Syafi’i rahimahullahu
Apa yang dipaparkan di atas juga merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu sebagai salah seorang ulama bermadzhab Syafi’i dalam tafsirnya. Beliau katakan, firman-Nya:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Yakni, sebagaimana tidak dibebankan padanya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan ganjaran kecuali dari apa yang dia usahakan sendiri.
Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan yang mengikuti beliau mengambil kesimpulan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Karena dia bukan dari amalan mayit dan usahanya.

Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk itu. Tidak pula membimbing ke arah tersebut, baik dengan nash (teks) yang jelas atau dengan isyarat. Tidak pula dinukilkan hal itu dari seorang pun dari kalangan sahabat. Seandainya memang baik, tentu mereka akan mendahului kita dalam hal itu. Sedangkan dalam perkara ibadah, kita harus membatasinya pada nash (ayat dan hadits), tidak boleh diberlakukan padanya berbagai macam analogi (qiyas) dan pendapat akal.

Adapun shadaqah dan doa, hal ini telah disepakati bahwa bisa sampai. Dan telah disebutkan (bolehnya) oleh yang menetapkan syariat.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ؛ إِلَّا مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
“Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal, anak shalih yang mendoakannya, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat.”
Tiga perkara ini pada hakikatnya adalah bagian dari usahanya, jerih payah dan amalnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِن كَسْبِهِ
“Di antara yang terbaik dari apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sungguh anaknya adalah termasuk dari usahanya.”

Shadaqah jariyah juga seperti wakaf dan sejenisnya, termasuk bagian dari amalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yasin: 12)

Juga ilmu yang dia sebarkan di tengah manusia sehingga orang-orang mengikutinya setelah dia meninggal, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits di kitab shahih disebutkan:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Najm: 39)

1 HR. Ahmad dan Ibnu Majah, lafadz di atas adalah lafadz Ahmad. Niyahah atau meratapi mayit, telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan larangan keras dan termasuk dosa besar, karena pelakunya telah diancam dengan ancaman keras sebagaimana dalam hadits:
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Seorang wanita yang niyahah (meratapi mayit) bila tidak bertaubat sebelum matinya maka akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan memakai pakaian yang menutupi tubuhnya dari tembaga yang meleleh dan kulitnya terkena penyakit kudis (secara merata).” (Shahih, HR. Muslim)


taken from;
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=912

Tuesday, May 4, 2010

Sifat-sifat Penghuni Neraka

Rabu, 24 Februari 2010 - 19:51:14, Penulis : Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Kategori : Oase
Sifat-sifat Penghuni Neraka


Dalam surat Qaf, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan beberapa sifat penghuni neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ قَرِينُهُ هَذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ. أَلْقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ مُرِيبٍ. الَّذِي جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ

Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” (Qaf: 23-26)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa qarin yang menyertai manusia, yakni malaikat yang ditugasi untuk mencacat amal bani Adam, mengatakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Yakni orang tersebut dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala oleh malaikat beserta catatan amalnya yang lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, serta siap untuk diberi balasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memerintahkan kepada kedua malaikat-Nya yaitu malaikat yang sebagai saksi dan malaikat yang menggiringnya ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut terdapat enam sifat orang yang bakal dilemparkan ke dalam Jahannam.
1. Orang yang sangat ingkar: yakni mereka yang sangat kafir, di mana berbagai macam kekafiran mereka lakukan baik berupa perbuatan maupun ucapan. Atau mereka yang kekafiran itu telah menguat dalam qalbunya.

2. Keras kepala: yakni membangkang terhadap kebenaran, menghadapinya dengan kebatilan sementara ia tahu kebenaran itu. Kalaupun kebenaran itu ditawarkan kepadanya, dia tidak mau menerimanya walaupun kebenaran itu begitu jelas. Akibatnya, ia akan banyak berbuat maksiat, berani menerjang larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Sangat menghalangi kebajikan: kebajikan di sini berarti segala macam kebajikan. Seolah-olah dia mencari-cari segala macam kebajikan untuk dia halangi sehingga dia menghalangi segala macam amal baik, dan yang terbesar adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya, serta menghalangi seseorang untuk berdakwah kepadanya. Ia juga tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, tidak mau berbuat baik, bersilaturahmi, dan bershadaqah. Ia menghalangi dirinya sendiri untuk berjuang dengan harta dan badannya dalam perkara yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Melanggar batas: yakni melanggar batas-batas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melanggar hak-hak makhluk, sehingga ia berbuat jahat kepada mereka. Yakni, bukan saja dia menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan, namun ia juga berbuat jahat kepadanya. Ini semacam perlakuan orang Quraisy terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik sekaligus mereka berbuat jahat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana ia juga melampaui batas dalam membelanjakan hartanya. Qatadah rahimahullahu menafsirkan: “Yakni melampaui batas dalam bicara, jalan dan segala urusannya.”

5. Lagi ragu-ragu: yakni tertanam dalam dirinya keraguan dan kebimbangan. Demikian juga, ia membuat keraguan pada diri orang lain, baik keraguan dalam hal janji Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun ancaman-Nya, sehingga tiada iman dan kebaikan dalam dirinya.

6. Yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah Subhanahu wa Ta’ala: mencakup semua orang yang menghambakan diri dan menghinakan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan:

فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ

“Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَتَكَلَّمُ يَقُوْلُ: وُكِلْتُ الْيَوْمَ بِثَلَاثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ فَتَنْطَوِي عَلَيْهِمْ فَتَقْذِفُهُمْ فِيْ غَمَرَاتِ جَهَنَّمِ
Sebuah leher keluar dari neraka, ia bisa berbicara. Ia pun mengatakan: “Pada hari ini aku dipasrahi (menyiksa) tiga golongan manusia: setiap orang yang sombong lagi membangkang, orang yang menjadikan sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama-Nya, dan setiap orang yang membunuh sebuah jiwa bukan karena qishash.” Sehingga leher tersebut melilit mereka dan melemparkan mereka ke dalam dahsyatnya azab jahannam. (HR. Ahmad)

Hukum Onani

Jum'at, 26 Februari 2010 - 17:37:22, Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah As-Sarbini Al-Makassari
Kategori : Problema Anda
Hukum Onani


Apa hukum onani/masturbasi bagi pria dan wanita?

Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:

1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

1 Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.

2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)

Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa.

Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an.

2 Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: ... وَالنَّاكِحُ يَدَهُ .... الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah] hafalannya)

Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas. Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad rahimahullahu memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat.

3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah (hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan.

Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing para pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak akhlak dan kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email


Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7 dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah dosa besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antaranya:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: ... وَالنَّاكِحُ يَدَهُ .... الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.”

4 Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorang pun yang menghalalkannya adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian ulama mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara onani dengan zina sehingga tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan kepala dzakar ke dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan budak wanita yang dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah pelakunya hanya sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar berhenti dari perbuatan maksiat tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullahu dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan, atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.

1 Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam majelis beliau. Silakan lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.

2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.

article taken from:

http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=937
 
Powered by Blogger