Subscribe Twitter Facebook

Thursday, June 24, 2010

Hukum Berkabung Bagi Istri

Posted: 17 Apr 2010 06:37 PM PDT

Kematian merupakan sunatullah yang pasti menimpa setiap makhluk yang bernyawa, sebagaimana firman Allah:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati। Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (QS. Al Ankabut: 57)


Dan firman Allah:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“. (QS. Al Mulk: 2)


Sehingga sudah menjadi satu keharusan bagi kita untuk mengetahui hukum dan adab seputar masalah ini। Diantara masalah yang belum banyak diketahui masyarakat kita, khususnya di Indonesia adalah permasalahan berkabung.


Berkembang dewasa ini atau sebelumnya realita yang menyelisihi syariat islam dalam permasalahan berkabung ini Diantaranya berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang untuk wafatnya seorang pemimpin atau tokoh besar selama sehari atau tiga hari atau tujuh hari atau lebih. Hal ini jelas tidak ada dasarnya dalam islam. Demikian juga kaum laki-laki berkabung atas kematian salah seorang keluarga atau kerabatnya merupakan satu hal yang tidak disyariatkan, sebab Islam hanya menetapkan berkabung kepada wanita jika suaminya meninggal dunia atau salah satu keluarganya dengan cara-cara tertentu yang telah ditetapkan syari’at dengan istilah Al Hadaad. Sehingga perlu sekali kita mengetahui hukum seputar Al hadaad yang telah ditetapkan syari’at Islam.


Makna Al Hadaad (berkabung) dalam Islam

Berkabung yang dalam bahasa Arabnya adalah Al Hadaad ( الْحَدَادُ) bermakna tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau yang lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya[1]. Ada juga yang menyatakan bahwa al Hadaad adalah sikap wanita yang meninggal suaminya tidak mengenakan semua yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya berupa minyak wangi, celak mata dan pakaian menarik dan tidak keluar rumah tanpa hajat.[2]

Jenis Berkabung
Al Hadaad ini terbagi menjadi dua, yaitu:


  1. Berkabung dari kematian suami selama empat bulan sepuluh

  2. Berkabung dari kematian salah satu keluarganya selain suami selama tiga hari.


Pembagian ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:


لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم


“Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari kecuali atas kematian suaminya“[3]
Dan dalam riwayat Al Bukhari ada tambahan lafadz :



فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا


“Maka ia berkabung atas hal tersebut (kematian suami) selama empat bulan sepuluh hari” [4]



Hukum Berkabung atas kematian suami
Para ulama ahlu sunnah bersepakat kecuali Al Hasan Al Bashri, Al Hakam bin Utaibah dan Al Sya’bi menyatakan bahwa hukum Al Hadaad jenis yang pertama adalah wajib. Hal ini juga didasari oleh dalil dari Al Qur’an dan Sunnah.
Dalil dari Al Qur’an adalah Firman Allah :


وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِي


“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (QS. Al Baqarah: 234)



Sedangkan dari sunnah adalah hadits dari Zainab bintu Abu Salamah, beliau berkata :


سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ



“Aku telah mendengar Umuu Salamah berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya putriku ditinggal mati suaminya dan ia mengadukan sakit pada matanya, apakah ia boleh mengenakan celak mata? Lalu Rasulullah menjawab: tidak sebanyak dua kali atau tiga kali, semuanya dengan kata tidak. Kemudian Rasulullah berkata: Itu harus empat bulan sepuluh hari dan dahulu salah seorang dari kalian dizaman jahiliyah membuang kotoran binatang pada akhir tahun” [5]



Demikian juga hadits yang berbunyi:


لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم


“Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari kecuali atas kematian suaminya” [6]



Perkataan ulama dalam hal ini :




Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama tentang kewajiban Al Hadaad (berkabung) bagi wanita yang ditinggal mati suaminya kecuali dari Al Hasan, beliau menyatakan tidak wajib. Namun pendapat ini adalah pendapat yang syadz (aneh menyelisihi) pendapat para ulama dan menyelisihi sunnah sehingga tidak dianggap” [7].



  • Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751H) berkata : “Umat telah berijma’ tentang kewajiban Al hadaad bagi wanita yag ditinggal mati suaminya, kecuali yang diriwayatkan dari Al Hasan dan Al Hakam bin Utaibah” [8].

Hukum berkabung atas kematian salah satu keluarga selain suami



Berkabung atas kematian salah seorang kerabat atau keluarga selain suami diperbolehkan selama tiga hari saja dan tidak boleh lebih. Walaupun diperbolehkan namun bila suami mengajak berhubungan intim, maka wanita tersebut tidak boleh menolaknya.



Perkataan ulama dalam hal ini:



  • Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat tahun 852 H) menegaskan: “Syari’at memperbolehkan seorang wanita untuk berkabung atas kematian selain suaminya selama tiga hari, karena kesedihan yang mendalam dan penderitaan yang menghujam karena kematian orang tersebut. Hal itu tidak wajib menurut kesepakatan para ulama. Namun seandainya suami mengajaknya berhubungan intim (jima’) maka tidak boleh ia menolaknya” [9].

  • Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) menyatakan: “Seandainya seorang wanita berkabung selama tiga hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau kerabat lainnya, maka hal itu mubah” [10].

  • Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751 H) juga menyatakan: “Berkabung atas kematian suami hukumnya wajib dan atas kematian selainnya boleh saja” [11].


Syarat-syaratnya [12]



Adapun syarat-syarat diwajibkannya Al Hadaad adalah :



  • Wanita tersebut berakal dan baligh. Para ulama bersepakat bahwa wanita yang baligh dan berakal diwajibkan Al Hadaad, namun masih berselisih tentang wanita yang masih belum baligh atau gila. Pendapat yang rojih adalah pendapat mayoritas ulama yang mewajibkannya

  • Islam. Ini juga telah disepakati para ulama. Namun mereka berselisih pada wanita ahli kitab apakah dikenakan kewaiban ini atau tidak ? pendapat yang rojih adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan hal itu diwajibkan pada wanita ahli kitab yang menikah dengan muslim, lalu suaminya tersebut meninggal dunia.

  • Menikah dengan akad yang shahih (sah)

Masa waktu berkabung dan cara menghitung harinya


Telah disinggung diatas bahwa masa berkabung bagi wanita adalah empat bulan sepuluh hari. Ini berlaku pada semua wanita kecuali yang hamil. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya berkabung sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:




وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا


“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (QS. 65:4)



Dan hadits Suabi’ah yang berbunyi:


كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي


“Umar bin Abdillah bin Al Arqam Al Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya bahwa Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa beliau (Subai’ah) adalah istri Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari bani ‘Amir bin Lu’ai dan beliau ini termasuk orang yang ikut perang badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan Subai’ah dalam keadaan hamil. Kemudian tidak lama kemudian beliau melahirkan setelah wafat suaminya tersebut. Ketika selesai nifasnya maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari bani Abduddar menemuinya sembari berkata: Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi Allah kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari. Subai’ah berkata: ketika ia bicara demikian kepada ku maka aku memakai pakaianku pada sore harinya lalu aku mendatangi Rasululloh dan menanyakan hal tersebut. Kemudian rasululloh memberikan fatwa kepadaku bahwa aku telah halal dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila ingin” [13]



Oleh karena itu imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: “Adapun orang yang hamil, jika telah melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya tersebut menurut kesepakatan mereka, sehingga ia boleh menikah, berhias dan memakai wangi-wangian untuk suaminya (yang baru) dan berhias sesukanya” [14].



Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan: “Mayoritas ulama dari para salaf dan imam fatwa di negeri-negeri berpendapat bahwa orang yang hamil jika wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya dengan melahirkan” [15].



Masa berkabung ini dimulai dari hari kematian suami, walaupun berita kematiannya terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat mayoritas para sahabat, imam madzhab yang empat, Ishaaq bin Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.[16]


Perhitungannya dengan menggunakan bulan Hijriyah. Sebagai contoh, seorang wanita ditinggal mati suaminya pada lima hari sebelum selesai bulan Dzulhijjah, maka ia hitung sisa Dzulhijah tersebut dan melihat hilal Muharrom, Shafar, Rabi’ul awal dan Rabi’u Ats Tsani, bila telah genap empat bulan tersebut maka ia tambahkan dengan sisa bulan Dzulhijah tersebut dan tambah hari sampai sepuluh hari empat bulan. Kemudian diperbolehkan berhias sebagaimana wanita berhias.



Hal-hal yang dilarang dalam masa berkabung
Diharamkan pada wanita yang berkabung ini semua yang diharamkan pada orang yang menunggu masa iddah dari berhias atau yang lainnya yang dapat menarik untuk menikahinya.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

Catatan kaki
[1] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, tanpa cetakan dan tahun, Al Maktabah Al Salafiyah, Mesir, hal 3/146
[2] Lihat Al Kalimaat Al Bayyinaat Fi Ahkam Hadaad Al Mukminat, Muhamad Al Hamuud Al Najdi,cetakan pertama tahun 1415 H, Dar Al Fath. Hal 8
[3] Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Thalak bab Wujub Al Ihdaad no. 3714.
[4] Diriwayatkan imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Janaaiz, bab Ihdaad Al Mar’ah ‘Ala Ghairi Zaujiha, no. 1280. lihat Fathul Bari op.cit hal 3/146
[5] Diriwayatkan Imam Al Bukhari, kitab Thalaq, Bab Tahiddu Al Mutawaffa ‘Anha Arba’ata Asyhur Wa ‘Asyra, no. 5335. lihat Fathul Bari op.cit hal 9/484
[6] Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Thalak bab Wujub Al Ihdaad no. 3714.
[7] Al Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiiq Abdulmuhsin bin Abdullah Al Turki dan Abdulfatah bin Muhammad Al Halwu, cetakan kedua tahun 1413H, penerbit Hajar, Kairo , mesir hal. 11/284.
[8] Zaad Al Ma’ad Fi Hadyu Khoirul Ibad, Ibnu Al Qayyim, Tahqiiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdulqadir Al Arnauth, cetakan ketiga tahun 1421H Muassat Al Risalah hal 5/618
[9] Fathul Bari op.cit 3/146.
[10] Al Muhalla, Ibnu Hazm Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa cetakan dan tahun, Daar Al Turats, Mesir. Hal 10/280
[11] Zaad Al Ma’ad, op.cit 5/618.
[12] diringkas secara bebas dari Al Kalimaat Al Bayyinaat Fi Ahkam Hadaad Al Mukminat, Muhamad Al Hamuud Al Najdi, op.cit hal 11-13
[13] Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Thalak, bab Inqidho Al Mutawaaffa ‘Anha Jauzuha no. 3707
[14] Zaad Al Ma’ad op.cit hal 5/619.
[15] Fathul bari op.cit hal 9/474.
[16] Lihat Al kalimaat Al Bayyinat, op.cit hal 19.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com


Monday, June 21, 2010

Thursday, June 17, 2010

Can I Celebrate This?



















Monday, June 14, 2010

Wednesday, June 9, 2010

Apakah Nabi Pernah Berbuat Salah?


Posted: 20 Apr 2010 06:58 AM PDT




Bagaimana sebenarnya konsep kema’shuman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu? Sedangkan kalau kita merujuk kepada al-Qur’an dan as-sunnah, maka akan kita temukan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang isinya menegur beliau (misalnya QS. at-Tahrim: 1 dan QS. Abasa: 1-11) dan di dalam as-sunnah maka akan kita temukan juga hal yang semisal, seperti beliau pernah shalat dzuhur 2 rakaat karena lupa, yang akhirnya beliau melakukan sujud sahwi. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam juga ditegur oleh Allah berkenaan dengan fitnah yang terjadi pada ‘Aisyah. Mohon kiranya pa’ Ustad berkenan menjelaskan, apa dan bagaimana sebenarnya konsep kema’shuman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Jazakumullah khairan katsiran.

Ubaid
Alamat: Jakarta Timur
Email: aerxxxx@yahoo.com

Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Mengenai kema’shuman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para Nabi dan Rasul secara umum, perlu dibagi menjadi dua macam:
1. Kema’shuman dari kesalahan dalam menyampaikan ajaran agama

Yaitu apakah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para Nabi dan Rasul terjaga dari melakukan kesalahan dalam menyampaikan agama? Jawabnya: ya. Allah Ta’ala berfirman:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali“. (QS. Al Baqarah: 285)

Pada ayat di atas, setiap mu’min diwajibkan untuk beriman kepada apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, ini menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terbebas dari kesalahan, kealpaan dan kecacatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata:

ان الأنبياء صلوات الله عليهم معصومون فيما يخبرون به عن الله سبحانه وفى تبليغ رسالاته باتفاق الأمة ولهذا وجب الايمان بكل ما اوتوه
“Para Nabi Shalawatullah ‘alaihim mereka ma’shum dalam mengabarkan dan menyampaikan ajaran agama dari Allah, ini disepakati para ulama. Oleh karena itulah mengimani apa yang mereka bawa adalah wajib” (Majmu’ Fatawa, 289-290/10)

2. Kema’shuman dari dosa dan maksiat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- juga menjelaskan bahwa kema’shuman para Nabi dan Rasul dari dosa dan maksiat terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Sebagian ulama berpendapat mereka ma’shum secara mutlak. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mereka ma’shum dari dosa besar saja. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mereka hanya ma’shum dalam penyampaian risalah namun tidak ma’shum dari dosa dan maksiat.
Sebagian ulama yang berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul ma’shum secara mutlak berdalil dengan alasan logika, yaitu bagaimana mungkin kita diperintahkan untuk meneladani dan mentaati para Nabi dan Rasul jika mereka pernah berbuat dosa. Alasan logika yang lain adalah, para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia sempurna, jika mereka berbuat dosa dan maksiat, tentu tidak sempurna lagi. Pendapat ini lemah karena hanya didasari oleh logika saja. Maka Syaikhul Islam pun menyanggahnya:

فهذا انما يكون مع البقاء على ذلك وعدم الرجوع والا فالتوبة النصوح التى يقبلها الله يرفع بها صاحبها الى اعظم مما كان عليه كما قال بعض السلف كان داود عليه السلام بعد التوبة خيرا منه قبل الخطيئة
“Logika tersebut bisa saja benar jika para Nabi dan Rasul terus-menerus berbuat dosa lalu tidak ruju’, padahal tidak demikian. Dan taubat nasuha yang diterima oleh Allah dapat mengangkat orang yang bertaubat tersebut kepada martabat yang lebih tinggi daripada sebelum ia bertaubat. Sebagaimana perkataan para salaf:

كان داود عليه السلام بعد التوبة خيرا منه قبل الخطيئة
‘Nabi Daud ‘Alaihissalam keadaannya lebih mulia setelah bertaubat daripada sebelum ia berbuat kesalahan‘” (Majmu’ Fatawa, 294/10)
Oleh karena itu kita jumpai banyak dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul pernah berbuat dosa. Namun jika kita perhatikan setiap dalil yang menunjukkan para Nabi dan Rasul berbuat dosa selalu digandengkan dengan taubat dan ruju’nya mereka.
Allah Ta’ala menceritakan Nabi Adam dan istrinya:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raf: 23)

Allah Ta’ala menceritakan Nabi Nuh ‘Alaihissalam:

قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Nuh berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Hud: 47)

Allah Ta’ala menceritakan tentang Nabi Daud ‘Alaihissalam :

فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ فَغَفَرْنَا لَهُ ذَٰلِكَ ۖ وَإِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَىٰ وَحُسْنَ مَآبٍ
Nabi Daud meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik” (QS. Shad: 24-25)

Begitu juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Banyak terdapat hadits dari yang menunjukkan bahwa beliau tidak lepas dari kesalahan. Sebagaimana hadits:

سألت عائشة عن دعاء كان يدعو به رسول الله صلى الله عليه وسلم . فقالت : كان يقول ” اللهم ! إني أعوذ بك من شر ما عملت ، وشر ما لم أعمل ” . وفي رواية : ” ومن شر ما لم أعمل
“Aisyah ditanya tentang doa yang biasa diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia menjawab: ‘Beliau sering berdoa: ‘Ya Allah, aku berlindung dari keburukan yang telah aku perbuat dan keburukan yang belum aku perbuat’. Dalam riwayat lain: ‘Dari keburukan yang aku belum tahu’‘” (HR. Muslim no.2716)
Oleh karena itu beliau tidak pernah bosan bertaubat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sungguh aku biasa bertaubat kepada Allah seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim no.7034)
Sehingga pendapat yang kuat adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

فإن القول بأن الانبياء معصومون عن الكبائر دون الصغائر هو قول أكثر علماء الاسلام وجميع الطوائف حتى إنه قول اكثر أهل الكلام
“Pendapat yang menyatakan bahwa para Nabi itu ma’shum dari dosa besar namun tidak ma’shum dari dosa kecil adalah pendapat mayoritas ulama dan seluruh aliran-aliran Islam yang ada, bahkan sampai-sampai ini pun merupakan pendapat mayoritas ahlul kalam” (Majmu’ Fatawa, 319/4)

Kesimpulan: pendapat yang benar -wallahu’alam-, para Nabi dan Rasul ma’shum dari dosa besar dan ma’shum dari terus-menerus melakukan dosa kecil. Mereka pernah berbuat kesalahan yang tergolong dosa kecil namun segera bertaubat dan pasti ditegur dan diampuni oleh Allah Ta’ala. Dengan demikian akan selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat” (HR. Tirmidzi no.2687. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Di-hasan-kan Al Albani dalam Al Jami Ash Shaghir, 291/18)

Wallahu Ta’ala A’lam

Rujukan:
A’ Irsyad Fii Shahil I’tiqad Wa Raddu Wa Raddu ‘Ala Ahlis Syirki Wal Ilhaad, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan -hafizhahullah- , cetakan kedua, penerbit Dar Ash Shahabah Mesir.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel UstadzKholid.Com

Tuesday, June 1, 2010

Madzhab Dan Perkembangannya




Madzhab Dan Perkembangannya
Posted: 14 Apr 2010 07:44 AM PDT


Hari demi hari kaum muslimin dewasa ini selalu mendapakan ujian pengkaburan nilai-nilai agamanya. Pengkaburan ini dilakukan dengan slogan perbedaan madzhab, sehingga akhirnya istilah madzhab dijadikan pembungkus kebid ‘ahan dan penyelewengan dalam agama. Realita yang ada menunjukkankan juga istilah madzhab memiliki konotasi taqlid, oleh karena itu perlu sekali kita melihat sejarah perkembangan pemikiran kaum muslimin dalam permasalahan ini walaupun secara singkat.

Pengertian madzhab
Kata Madzhab berasal dari kata bahasa Arab َهَبَ ذ- يَذْهَبُ – ذَهَابًا – ذُهُوْبًا – مَذْهَبًا bermakna berjalan (pergi) atau lewat, sedangkan الْمَذْهَبُ bermakna i’tiqad (keyakinan), jalan dan ushul yang dijalankannya [1], seperti pernyataan : “Madzhab kami adalah madzhab sepuluh orang yang dijamin masuk syurga dan Ahmad”[2].

Jadi, istilah madzhab sebenarnya mencakup juga keyakinan dan aqidah, sehingga sering digunakan para ulama untuk menyatakan keyakinan dan akidah ahlussunnah, seperti pernyataan Imam Al Shabuni ketika menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah : “Dan termasuk madzhab Ahli Al Hadits, Imam adalah perkataan dan perbuatan serta ma’rifah (ilmu), bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan”[3]. Demikian juga beliau menyatakan : “Diantara madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah” [4]

Dengan demikian, salahlah bila seorang yang fanatis terhadap satu madzhab misalnya madzhab Syafi’i, lalu hanya mengambil madzhab beliau dalam fiqih dan meninggalkan aqidah yang diyakini beliau. Seperti kebanyakan pengikut madzhab yang ada, mereka ngotot menyatakan dirinya bermadzhab namun jauh dari keyakinan dan amalan imam yang diikutinya tersebut.

Sejarah Perkembangan madzhab-madzhab yang menyimpang
Umat islam di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah umat yang satu dan bersatu mengikuti seluruh petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . namun semakin jauh dari masa kenabian dan jauh dari kota Madinah maka bermunculanlah madzhab-madzhab yang menyimpang dan kebid’ahan. Kota-kota yang dihuni banyak para sahabat relatif lebih sulit dan sedikit kebid’ahannya dibandingkan yang lainnya, sebab disanalah berkembang ilmu dan iman. Kota-kota tersebut adalah Makkah, Madinah, Bashroh, Kufah dan Syam. Dari kota-kota tersebut kota Madinahlah yang tidak muncul kebidahan sampai selesai masa tabiit Tabiin sedangkan yang lainnya telah bermunculan kebidahan. Kota Kufah muncul kebidahan syi’ah dan Murji’ah, kota Bashroh muncul Qadariyah, mu’tazilah dan shufiyah dan kota Syam muncul bidah Nawashib [5]. Bahkan kota Madinah tidak berkembang kebidahan sampai zaman murid-murid imam Malik yang merupakan kurun keempat.

Syaikhul Islam menceritakan perkembangan kebid’ahan dalam umat ini: “Ketahuilah umumnya kebid’ahan yang berhubungan dengan aqidah dan ibadah, hanyalah terjadi pada umat islam di masa-masa akhir kekhilafahan Khulafaa’ Rasyidin, sebagaimana diberitakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya :

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
“Barang siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para kholifah Rasyidin“..[6][7]
Kemudian beliau menyatakan: “Ketika negara khulafa’ Rasyidin habis dan jadilah kerajaan, maka muncullah kekurangan pada pemerintah dan ini mesti diikuti juga dengan kemunculan hal tersebut pada ulamanya, sehingga muncullah pada kekhilafahan Ali bin Abi Tholib dua kebid’ahan yaitu Khawarij dan Rafidhah. Dua kebidahan ini berhubungan dengan masalah imamah dan khilafah serta yang yang berhubungan dengan hal itu dari amalan dan hukum-hukum syari’at “[8].
Dalam pernyataan lainnya beliau menyatakan: “Ketika terjadi perpecahan setelah terbunuhnya khalifah Utsman muncullah kebidahan khawarij dan muncul juga syi’ah dengan 3 alirannya. Yang ekstrim dibakar oleh Ali bin Abi Tholib, Syiah Mufadholah dicambuk delapan puluh kali oleh Ali dan aliran Saba’iyah yang imam Ali ancam dan Ibnu Saba’ dicari untuk dibunuh namun berhasil melarikan diri”[9].
Kemudian setelah pemerintahan Mu’awiyah dan Yazid bin Mu’awiyah umat Islam berpecah belah. Ibnu Taimiyah menyatakan: “Kemudian Yazid meninggal dunia dan umat Islam berpecah belah, Ibnu Az Zubair memerintah di Hijaaz, Banu Al Hakam memerintah di Syam dan Al Mukhtar bin Abu Ubaid dan lainnya merebut Iraq. Dan ini terjadi di akhir masa shahabat dan masih tersisa pada mereka sahabat seperti Abdullah bnu Abas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al Khudri dan sejawatnya. Pada masa inilah muncul bidah Qadariyah dan Murji’ah. Lalu para sahabat seperti Ibnu Abas, Ibnu Umar[10], Jabir[11] dan Watsilah bin Al Asqaa’ serta yang lainnya membantahnya dengan tetap membantah kebidahan khawarij dan rafidhoh. Pada umumnya madzhab Qadariyah ketika itu hanya berbicara pada masalah amalan hamba (A’maal Al Ibaad) sebagaimana Murji’ah pun berbicara dalam permasalahan ini, sehingga mereka hanya berbicara tentang masalah taat dan maksiat, Mu’min dan fasiq dan yang sejenisnya dari masalah Asma Wa Ahkaam [12] dan Al Wa’d wa Al Wa’id [13] dan belum berbicara lagi tentang Rabb dan sifat-sifatNya kecuali di akhir-akhir masa shighor tabiin tepatnya di akhir kekhilafahan bani Umayah diawal abad ketiga –Tabi’ut Tabiin- ketika kebanyakan mereka telah wafat” [14].
Kemudian beliau menuturkan kembali dalam pernyataannya: “Lalu sebagian kitab-kitab Persia, India dan Rumawi dialih bahasakan kebahasa Arab dan muncullah apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ حَتَّى يَشْهَدَ الرَّجُلُ وَ لاَ يُسْتَشْهَدُ وَ يَحْلِفُ وَلاَ يُسْتَحْلَفُ
“Kemudian tersebarlah kedustaan sampai seseorang bersaksi dan tidak dimintai persaksian dan bersumpah tanpa diminta bersumpah“.
Lalu muncullah tiga kebidahan yaitu Ar Ra’yu [15], Al Kalam dan Tashawuf. Kemudian muncul bidah tajahhum (jahmiyah) yaitu bidah penolakan sifat-sifat Allah, lalu muncul juga bid’ah tamtsil” [16].
Ibnu Taimiyah menyatakan tentang kemunculan Jahmiyah ini dalam pernyataannya: “Adapun Jahmiyah, maka mereka muncul di akhir zaman Tabi’in setelah wafatnya Umar bin Abdil Aziz. Kemunculan Jahm bin Shafwan di Kota Khurasaan di zaman kekhilafahan Hisyam bin Abdilmalik” [17].
Ibnu Al Qayyim menyampaikan kepada kita ringkas sejarah yang dipaparkan guru beliau diatas dengan pernyataan: “Bidah Qadariyah muncul diakhir masa sahabat, lalu sahabat yang masih hidup seperti Abdullah bin Umar, Ibnu Abas dan yang semisalnya mengingkarinya, kemudian muncul bidah Irja’ (murji’ah)setelah habis masa sahabat lalu para kibar tabiin angkat bicara membantahnya, kemudian muncul bid’ah tajahhum (Jahmiyah) setelah selesai masa Tabi’in. bidah ini menjadi besar dan menyebar kejelekannya pada zaman para imam seperti imam Ahmad dan yang semisalnya. Kemudian setelah itu muncul bid’ah Hulul (Hululiyah) dan berkembang pada zaman Al Husein Al Hallaaj. Setiap kali syeithon memunculkan satu kebidahan dan yang lainnya maka Allah bangkitkan diantara hizbu dan tentaraNya yang membantah dan memperingatkan kaum muslimin dari kebidahan tersebut” [18].

Sedangkan Ibnu Hajar menjelaskan bahwa setelah penulisan hadits Nabi muncul penulisan tafsir Al Qur’an, kemudian pembukuan masalah-masalah fiqih yang dilahirkan dari Ra’yu murni kemudian pembukuan yang berhubungan dengan amalan-amalan hati (tashawuf). Adapun yang pertama (pembukuan hadits) diingkari oleh Umar, Abu Musa dan sekelompok sahabat dan mayoritas mereka membolehkannya. Sedangkan yang kedua diingkari sejumlah Tabi’in diantaranya Asy Sya’bi dan yang ketiga diingkari Imam Ahmad dan sejumlah ulama. Demikian juga Imam Ahmad lebih mengingkari lagi yang setelahnya. Diantara yang muncul berkembang juga adalah pembukuan pendapat-pendapat yang berhubungan dengan ushul agama, sehingga tersebarlah kelompok Mutsbitah (yang menetapkan sifat Allah) dan An Nufaah (yang menolak sifat Allah). Kelompok pertama menjadi ekstrim sampai menyerupakan Allah dengan makhluk dan yang kedua sampai menolak semua sifat Allah (Mu’aththil). Para salaf dengan kerasnya mengingkari hal ini seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Asy Syafi’i. Dan pernyataan mereka dalam mencela ilmu kalam sudah masyhur. Sebabnya karena mereka berbicara dalam hal-hal yang Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya tidak membicarakannya. Imam malik pernah menyatakan bahwa pada zaman nabi, Abu bakar dan Umar tidak ada sedikitpun kebidahan- yaitu bidah khawarij, Rafidhah, Qadariyah- lalu berkembang lebih luas (bid’ah ini) pada masa belakangan dari tiga generasi yang utama dalam mayoritas perkara yang telah diingkari para tabiin dan tabiit tabiin. Mereka tidak puas hanya dengan hal ini sehingga mencampur adukkan masalah-masalah agama dengan ilmu kalam Yunani dan menjadikan statemen filsafat sebagai dasar rujukan terhadap atsar (nash-nash syar’I) yang menyelisihinya dengan ta’wiel walaupun dipaksakan. Kemudian juga tidak cukup hanya dengan ini saja sampai menganggap apa yang mereka susun tersebut sebagai ilmu yang paling mulia dan utama untuk dipelajari serta orang yang tidak menggunakan istilah yang mereka buat tersebut sebagai orang awam yang bodoh. Orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh kepada ajaran salaf dan menjauhi kebidahan orang kholaf.[19]

Demikianlah orang-orang yang meanganggap pemikiran mereka lebih baik dari nash-nash syar’I, lalu setelah itu bermunculanlah sikap taklid buta pada kaum muslimin yang menyebabkan mereka jauh darikemulian dan kejayaan yang pernah dirasakan para salaf shalih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melengkapi pernyataan beliau diatas dengan menyatakan: “Kemudian orang-orang terdahulu (Mutaqaddimun) yang meletakkan jalan pemikiran , ilmu kalam dan tasawuf dan yang lainnya masih mencampurkan hal itu dengan dasar Al Qur’an dan Sunnah serta Atsaar, karena masanya masih dekat (dengan generasi terbaik) dan juga cahaya sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masih tampak tinggi, walaupun disebagian orang cahaya sunnah ini telah tercampuri kegelapan yang lainnya. Sedangkan orang-orang akhir (Mutaakhirun) maka banyak dari mereka yang lepas dari kaidah yang diletakkan orang terdahulunya, seperti orang yang menulis kitab ilmu kalam dari kalangan mutaakhirin yang hanya memuat kaidah-kaidah berfikir bid’ah saja dan berpaling dari kitabullah dan Sunnah. Juga menjadikan keduanya sebagai rujukan sekunder saja atau beriman kepada keduanya secara global saja atau perkaranya keluar sampai menjadi zindiq. Ahli kalam mutaqaddimun lebih baik dari mutaakhirun-nya. Demikian juga yang menulis pembahasan Ar Ra’yu hanya menjelaskan pemikiran imamnya dan sahabat pendukungnya saja dan berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah serta menimbang isi kandungan Al Qur’an dan Sunnah dengan pemikiran imamnya saja, seperti banyak dari para pengikut madzhab Abu Hanifah, malik, Syafi’I dan Ahmad” [20].
Demikian akhirnya madzhab menjadi segala-galanya. Semua yang menyelisihi madzhab walaupun itu Al Qur’an dan Sunnah maka harus ditinggalkan. Bahkan sampai-sampai dikatakan yang tidak bermadzhab satu dianggap sesat. Tidak sampai disini saja namun sampai ada yang melarang meneliti langsung Al Qur’an dan Sunnah dengan dalih madzhab telah mencukupinya. Subhanallahu hadza buhtanun Adzim.
Penutup

Sejarah ini membuktikin bahwa jauhnya kaum muslimin dari Al Qur’an dan Sunnah serta pemahaman para Salaf Shalih mengakibatkan kaum muslimin jatuh dalam kehancuran dan taklid buta. Marilah kita jadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai pelindung kita dari semua kesesatan dan kehancuran dan menjadikan keduanya sebagai sumber pelita kehidupan kita semua. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk“. (QS. Al Imran: 103)

Mudah-mudahan dengan demikian Allah Ta’ala memberikan nikmat persaudaraan kepada kita semua.

Referensi
1. Al Qaamus Al Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al Fairyuzabadi (wafat tahun 817 H ), tahqiq Muhammad Na’im Al Urqusysi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Ar Risaalah
2. Al Kuliyaat, Mu’jam Fi AL Mushtholahaat Wa Al Furuq Al Lughowiyah, Ayub bin Musa Al Husaini Al Kafawi (W. 1094 H) tahqiq ‘Adnaan Darus dan Muhammad Al Mishri cetakan pertama tahun 1412H, Muassasah Ar Risalah, Bairut
3. Aqidah Al Salaf Wa Ashhabul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shobuni, (Wafat 449 H ), tahqiq DR. Nashir bin Abdurrahman Al Judai’, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah
4. Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah
5. Taqrib Al Tadmuriyah, Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Sayyid Abbas bin Ali Al Julaimi, cetakan pertama tahun 1413H, Maktabah Al Sunnah, Mesir
6. Al Intishor Li Ahli Al Hadits, Muhammad bin Umar Salim Bazamuul, cetakan pertama tahun 1418 H Dar Al Hijroh, KSA

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com

Footnote
[1] Lihat Al Qaamus Al Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al Fairyuzabadi (wafat tahun 817 H ), tahqiq Muhammad Na’im Al Urqusysi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Ar Risaalah, Bairut hal. 111
[2] lihat Al Kuliyaat, Mu’jam Fi AL Mushtholahaat Wa Al Furuq Al Lughowiyah, Ayub bin Musa Al Husaini Al Kafawi (W. 1094 H) tahqiq ‘Adnaan Darus dan Muhammad Al Mishri cetakan pertama tahun 1412H, Muassasah Ar Risalah, Bairut hal 878.
[3] Aqidah Al Salaf Wa Ashhabul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shobuni, (Wafat 449 H ), tahqiq DR. Nashir bin Abdurrahman Al Judai’, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah hal 264
[4] ibid hal.285
[5] lihat Majmu’ fatawa 20/300-301
[6] Hadits Shahih Lighairihi. Hadits ini diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnadnya 4/126. Ad Darimi dalam Muqaddimah sunannya, At Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no 42 dan 44 (lihat takhrij Muhamad Umar Bazmul dalam kitab Al Intishor Li Ahli AlHadits hal 35)
[7] Majmu’ Fataawa 10/354
[8] ibid 10/356
[9] ibid 20/301.
[10] Lihat bantahan beliau terhadap qadariyah pada hadits no 8 dalam kitab Al Iman pada Shahih Muslim.
[11] Lihat bantahan beliau pada shohih Muslim, kitab Al Iman, no. 191.
[12] Penamaan seseorang dengan mukmin atau kafir dan hukumnya didunia dan akhirat.
[13] Masalah janji dan ancaman yang ada dalam nash-nash dan penerapannya.
[14] Majmu’ Fatawa 10/357
[15] yang dimaksud disini adalah menjadikan akal sumber rujukan dan mendahulukanatau mengedepankannya dari Nash Al Qur’an dan Sunnah. Lihat Al Intishor Li Ahli Al Hadits, Muhammad bin Umar Salim Bazamuul, cetakan pertama tahun 1418 H Dar Al Hijroh, KSA hal. 21
[16] ibid 10/358.
[17] Ibid 20/302.
[18] lihat Tahdzib Sunan Abi Daud 7/61 hadits no 4527, kami nukil dari Taqrib Al Tadmuriyah, Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Sayyid Abbas bin Ali Al Julaimi, cetakan pertama tahun 1413H, Maktabah Al Sunnah, Mesir hal 12.
[19] Dinukil dari Taqrib Al Tadmuriyah hal 12-13 dengan merujuk kepada Fathul Bari 13/253)
[20] Majmu’ Fatawaa 10/366
 
Powered by Blogger