Subscribe Twitter Facebook

Thursday, July 29, 2010

Apa Makna Wanita Diciptakan dari Tulang Rusuk yang Paling Bengkok?




Posted: 02 Jun 2010 10:08 PM PDT
Pertanyaan:

Disebutkan dalam sebuah hadits, “Berbuat baiklah kepada wanita, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas,” dst. Mohon penjelasan makna hadits dan makna ‘tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas’?

Jawaban:

Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di masing masing kitab Shahih mereka, dari Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka sikapilah para wanita dengan baik.” (HR al-Bukhari Kitab an-Nikah no 5186)

Ini adalah perintah untuk para suami, para ayah, saudara saudara laki laki dan lainnya untuk menghendaki kebaikan untuk kaum wanita, berbuat baik terhadap mereka , tidak mendzalimi mereka dan senantiasa memberikan ha-hak mereka serta mengarahkan mereka kepada kebaikan. Ini yang diwajibkan atas semua orang berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam, “Berbuat baiklah kepada wanita.”

Hal ini jangan sampai terhalangi oleh perilaku mereka yang adakalanya bersikap buruk terhadap suaminya dan kerabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan karena para wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sebagaimana dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bahwa tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.

Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok, itu jelas. Maknanya, pasti dalam kenyataannya ada kebengkokkan dan kekurangan. Karena itulah disebutkan dalam hadits lain dalam ash-Shahihain.

“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bias menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).” (HR. Al Bukhari no 304 dan Muslim no. 80)

Hadits Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang disebutkan dalam ash shahihain dari hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurang akal” dalam sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam adalah bahwa persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang laki laki. Sedangkan makna “kurang agama” dalam sabda beliau adalah bahwa wanita itu kadang selama beberapa hari dan beberapa malam tidak shalat, yaitu ketika sedang haidh dan nifas. Kekurangan ini merupakan ketetapan Allah pada kaum wanita sehingga wanita tidak berdosa dalam hal ini.

Maka hendaknya wanita mengakui hal ini sesuai dengan petunjuk nabi shalallahu ‘alayhi wasallam walaupun ia berilmu dan bertaqwa, karena nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu, tapi berdasar wahyu yang Allah berikan kepadanya, lalu beliau sampaikan kepada ummatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. An-Najm:4)

Sumber:

Majmu Fatawa wa Maqadat Mutanawwi’ah juz 5 hall 300-301, Syaikh Ibn Baaz Fatwa fatwa Terkini Jilid 1 Bab Perlakuan Terhadap Istri penerbit Darul Haq
***
Artikel muslimah.or.id

Konsumsi Obat Penghalang Datang Haidh Ketika Ramadahan



Kamis, 29 Juli 2010 09:00 Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Kita telah mengetahui bersama bahwa puasa adalah amalan mulia. Ganjaran di balik amalan tersebut pun bisa jadi tak terhingga. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman dengan benar pasti tidak ingin luput dari amalan yang mulia ini. Termasuk pula para wanita muslimah, mereka pun sangat ingin sekali menunaikan puasa sebulan penuh, tanpa luput sehari pun juga. Padahal selama belum monopause, si wanita sesuai ketentuan Allah, biasanya mengalami haidh setiap bulannya. Di bulan Ramadhan pun ia akan mendapati masa haidh tersebut. Sehingga ia mesti mengqodho’nya di luar Ramadhan. Yang jadi permasalahan, apabila si wanita menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh agar ia dapat berpuasa secara sempurna. Atau sebagian wanita juga punya keinginan untuk bisa menikmati lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga ia pun menggunakan obat-obatan tersebut untuk menghalangi datang bulan. Apakah menggunakan obat-obatan semacam itu dibolehkan?

Inilah pembahasan yang akan kami angkat pada kesempatan kali ini.

Pendapat Ulama Masa Silam

‘Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ibnu Jarir pada kami, (ia berkata) bahwa ‘Atho’ ditanya mengenai seorang wanita yang datang haidh lantas ia menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan haidhnya padahal itu di masa haidnya, apakah ia boleh melakukan thowaf?

نعم إذا رأت الطهر فإذا هي رأت خفوقا ولم تر الطهر الأبيض فلا

“Ia boleh thowaf jika ia telah suci. Jika ia melihat suatu yang kering, namun belum terlihat tanda suci, maka ia tidak boleh thowaf”, jawab ‘Atho’. (Mushonnaf ‘Abdur Rozaq, 1219)

‘Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ma’mar pada kami, (ia berkata) telah menceritakan pada kami Washil, bekas budak Ibnu ‘Uyainah, (ia berkata) ada seseorang yang bertanya pada Ibnu ‘Umar mengenai wanita yang begitu lama mengalami haidh lalu ia ingin mengkonsumsi obat yang dapat menghentikan darah haidhnya. Washil berkata,

فلم ير بن عمر بأسا

“Ibnu ‘Umar menganggap hal itu tidak masalah.”

Ma’mar berkata,

وسمعت بن أبي نجيح يسأل عن ذلك فلم ير به بأسا

“Aku mendengar Abu Najih menanyakan hal ini. Lantas ia menganggap perbuatan semacam itu tidak mengapa.” (Mushonnaf ‘Abdur Rozaq, 1220). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata bahwa yang benar riwayat ini adalah perkataan Abu Najih.[1]

Dalam Al Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan,

رُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ ، أَنَّهُ قَالَ : لَا بَأْسَ أَنْ تَشْرَبَ الْمَرْأَةُ دَوَاءً يَقْطَعُ عَنْهَا الْحَيْضَ ، إذَا كَانَ دَوَاءً مَعْرُوفًا .

Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, “Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).”[2] [3]

Penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian wanita ada yang bersengaja menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh yang rutin setiap bulannya. Mereka melakukan seperti ini dengan tujuan supaya tidak lagi mengqodho’ puasa selepas bulan Ramadhan. Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan? Apakah ada syarat yang tidak membolehkan wanita menggunakan obat semacam itu?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Dalam masalah ini aku berpandangan bahwa hendaklah wanita tersebut tidak melakukan semacam itu. Hendaklah ia menjalankan ketetapan Allah yang telah digariskan pada para wanita. Kebiasaan datang haidh setiap bulannya di sisi Allah memiliki hikmah yang amat banyak jika kita mengetahuinya. Hikmah yang dimaksud adalah bahwa kebiasaan datang haidh ini termasuk kebiasaan yang normal, di mana haidh ini terjadi untuk tujuan menghalangi si wanita dari berbagai bahaya yang dapat memudhorotkan dirinya. Para pakar kesehatan telah menjelaskan efek negatif dari penggunaan obat semacam itu. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Laa dhororo wa laa dhiroor (Tidak ada bahaya dalam syari’at ini dan tidak boleh mendatangkan bahaya tanpa alasan yang benar)[4].” Oleh karena itu, dalam masalah ini aku berpandangan bahwa wanita hendaklah tidak menggunakan obat-obatan untuk mengahalangi datangnya haidh. Alhamdulillah berkat karunia Allah, jika datang haidh, wanita muslimah diperkenankan untuk tidak mengerjakan puasa dan shalat. Ketika ia kembali suci, ia boleh kembali mengerjakan puasa dan shalat. Jika berakhir Ramadhan, ia hendaklah mengqodho’ puasanya yang luput tadi.”[5]

Pernah pula diajukan pertanyaan pada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Jika wanita (kemungkinan) datang haidh di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, apakah boleh ia menggunakan obat-obatan penghalang hamil supaya ia tetap bisa menjalankan ibadah di hari-hari utama?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Kami beranggapan tidak boleh menggunakan obat-obatan tersebut untuk menolong dalam melakukan ketaatan pada Allah. Karena datangnya haidh adalah ketetapan Allah pada kaum hawa.

Ada kisah bahwa ‘Aisyah pernah ditemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu ia sedang menemani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haji wada’. Ia pun hendak melaksanakan umroh. Namun ia datang haidh sebelum masuk Makkah. Lantas ketika ‘Aisyah pun menangis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Kenapa engkau sampai menangis?” ‘Aisyah pun menjawab bahwa ia mendapati haidh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa itu sudah menjadi ketetapan Allah bagi kaum hawa. Jika seorang wanita mendapati haidh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka pasrahlah dengan ketetapan Allah. Janganlah menggunakan obat-obat tersebut . Ada informasi dari pakar kesehatan yang sampai ke telinga kami, bahwa obat-obatan membawa efek negatif pada rahim dan darah. Terkadang darah tersebut merupakan sumber makanan bagi janin. Oleh karena itu, kami sarankan untuk menjauhi obat-obatan semacam ini. Ketika datang haidh, hendaklah wanita tersebut meninggalkan shalat dan puasa. Datangnya haidh ini sama sekali bukan kreasi manusia, namun itu adalah ketentuan Allah.”[6]

Jika Tetap Menggunakan Obat Penghalang Datang Bulan

Syaikh Abu Malik –penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah- menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qodho’ baginya. Wallahu a’lam.”[7]

Wahai Wanita, Ridholah pada Ketetapan Allah!

Jika tidak mengkonsumsi obat-obatan penghalang datang bulan tidak membawa dampak negatif, maka tidak mengapa menggunakannya. Namun sikap yang lebih baik adalah setiap wanita muslimah ridho dengan ketetapan Allah, tanpa mesti menggunakan obat-obatan semacam itu. Setiap ketetapan Allah pasti ada hikmah yang luar biasa di balik itu semua. Lihatlah bagaimana sikap ‘Aisyah ketika ia mendapati haidh padahal ia ingin melaksanakan haji.

Dari 'Aisyah, ia berkata, "Kami keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan haji. Ketika kami sampai di suatu tempat bernama Sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?" Aku jawab, "Demi Allah, pada tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji!" Beliau berkata, "Barangkali kamu mengalami haidh?" Aku jawab, "Benar." Beliau pun bersabda,

فَإِنَّ ذَلِكَ شَىْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

"Yang demikian itu adalah perkara yang sudah Allah tetapkan buat puteri-puteri keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thowaf di Ka'bah hingga kamu suci." (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)

Bagaimana Wanita Haidh dan Nifas Mengisi Hari-Harinya di Bulan Ramadhan dan Lailatul Qadar?

Karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh dan nifas lakukan ketika itu adalah,

1.Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf.[8]
2.Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
3.Memperbanyak istighfar.
4.Memperbanyak do’a.
5.Memperbanyak sedekah dan kebaikan lainnya.[9]


Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Disusun di Panggang-GK, 16 Sya’ban 1431 H (29 Juli 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://www.rumaysho.com/





--------------------------------------------------------------------------------

[1] Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1/199, terbitan Darus Sunnah.

[2] Al Mughni, 1/450, terbitan Dar ‘Alam Kutub.

[3] Riwayat-riwayat ini dibawakan oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1/198-200.

[4] Ini adalah salah satu tafsiran dari hadits tersebut. Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 364 (penjelasan hadits Arba’in An Nawawiyah no. 32).

[5] Sumber: Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 7416, http://islamqa.com/ar/ref/7416/

[6] Sumber: Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 13738, http://islamqa.com/ar/ref/13738

[7] Shahih Fiqh Sunnah, 2/128.

[8] Dalam at Tamhid (17/397, Syamilah), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya.

[9] Lihat Fatwa Al Islam Su-al wa Jawab pada link http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753

Monday, July 26, 2010

Ucapan Salam,Amalan Yang Mulia Yang Ditinggalkan




Rabu, 12 Agustus 2009 03:00
Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man taabi'ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

An Nawawi menyebutkan dalam Shohih Muslim Bab ‘Di antara kewajiban seorang muslim adalah menjawab salam’. Lalu dibawakanlah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ ». قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ ».

“Hak muslim pada muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang menanyakan, ”Apa saja keenam hal itu?” Lantas beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam padanya, (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya, (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’), (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim no. 2162)

Apakah hak-hak yang disebutkan di sini adalah wajib?
Ash Shon’ani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa inilah hak muslim pada muslim lainnya. Yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang tidak pantas untuk ditinggalkan. Hak-hak di sini ada yang hukumnya wajib dan ada yang sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat ditekankan) yang sunnah ini sangat mirip dengan wajib.” (Subulus Salam, 7/7)

Hukum Memulai Mengucapkan dan Membalas Salam

Jika kita melihat dari hadits di atas, akan terlihat perintah untuk memulai mengucapkan salam ketika bertemu saudara muslim kita yang lain. Namun sebagaimana dinukil dari Ibnu ‘Abdil Barr dan selainnya, mereka mengatakan bahwa hukum memulai mengucapkan salam adalah sunnah, sedangkan hukum membalas salam adalah wajib. (Subulus Salam, 7/7)

Ucapkanlah Salam Kepada Orang yang Engkau Kenali dan Tidak Engkau Kenali
Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya Bab ‘Mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal’. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ « تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ ، وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ »

“Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali. ” (HR. Bukhari no. 6236)
Bahkan mengucapkan salam kepada orang yang dikenal saja, tidak mau mengucapkan salam kepada orang yang tidak dikenal merupakan tanda hari kiamat.

Bukhari mengeluarkan sebuah hadits dalam Adabul Mufrod dengan sanad yang shohih dari Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia melewati seseorang, lalu orang tersebut mengucapkan, “Assalamu ‘alaika, wahai Abu ‘Abdir Rahman.” Kemudian Ibnu Mas’ud membalas salam tadi, lalu dia berkata,

إِنَّهُ سَيَأْتِي عَلَى النَّاس زَمَان يَكُون السَّلَام فِيهِ لِلْمَعْرِفَةِ

“Nanti akan datang suatu masa, pada masa tersebut seseorang hanya akan mengucapkan salam pada orang yang dia kenali saja.”

Begitu juga dikeluarkan oleh Ath Thohawiy, Ath Thobroniy, Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab dengan bentuk yang lain dari Ibnu Mas’ud . Hadits ini sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (baca: hadits marfu’). Lafazh hadits tersebut adalah:

مِنْ أَشْرَاط السَّاعَة أَنْ يَمُرّ الرَّجُل بِالْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي فِيهِ ، وَأَنْ لَا يُسَلِّم إِلَّا عَلَى مَنْ يَعْرِفهُ

“Di antara tanda-tanda (dekatnya) hari kiamat adalah seseorang melewati masjid yang tidak pernah dia shalat di sana, lalu dia hanya mengucapkan salam kepada orang yang dia kenali saja.” (Lihat Fathul Bari, 17/458)

Ibnu Hajar mengatakan, “Mengucapkan salam kepada orang yang tidak kenal merupakan tanda ikhlash dalam beramal kepada Allah Ta’ala, tanda tawadhu’ (rendah diri) dan menyebarkan salam merupakan syi’ar dari umat ini.” (Lihat Fathul Bari, 17/459)

Dan tidak tepat berdalil dengan hadits di atas untuk memulai mengucapkan salam pada orang kafir karena memulai salam hanya disyari’atkan bagi sesama muslim. Jika kita tahu bahwa orang tersebut muslim, maka hendaklah kita mengucapkan salam padanya. Atau mungkin dalam rangka hati-hati, kita juga tidak terlarang memulai mengucapkan salam padanya sampai kita mengetahui bahwa dia itu kafir. (Lihat Fathul Bari, 17/459)

Mengucapkan Salam dapat Mencapai Kesempurnaan Iman

Dari ‘Amar bin Yasir, beliau mengatakan,

ثَلاَثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الإِيمَانَ الإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ ، وَبَذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ ، وَالإِنْفَاقُ مِنَ الإِقْتَارِ

“Tiga perkara yang apabila seseorang memiliki ketiga-tiganya, maka akan sempurna imannya: [1] bersikap adil pada diri sendiri, [2] mengucapkan salam pada setiap orang, dan [3] berinfak ketika kondisi pas-pasan. ” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq yaitu tanpa sanad. Syaikh Al Albani dalam Al Iman mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Ibnu Hajar mengatakan, “Memulai mengucapkan salam menunjukkan akhlaq yang mulia, tawadhu’ (rendah diri), tidak merendahkan orang lain, juga akan timbul kesatuan dan rasa cinta sesama muslim.” (Fathul Bari, 1/46)

Saling Mengucapkan Salam akan Menimbulkan Rasa Cinta

Mengucapkan salam merupakan sebab terwujudnya kesatuan hati dan rasa cinta di antara sesama muslim sebagaimana kenyataan yang kita temukan (Huquq Da’at Ilaihal Fithroh, 46). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Siapa yang Seharusnya Mendahului Salam?

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى ، وَالْمَاشِى عَلَى الْقَاعِدِ ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

“Hendaklah orang yang berkendaraan memberi salam pada orang yang berjalan. Orang yang berjalan memberi salam kepada orang yang duduk. Rombongan yang sedikit memberi salam kepada rombongan yang banyak.” (HR. Bukhari no. 6233 dan Muslim no 2160)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

“Yang muda hendaklah memberi salam pada yang tua. Yang berjalan (lewat) hendaklah memberi salam kepada orang yang duduk. Yang sedikit hendaklah memberi salam pada orang yang lebih banyak.” (HR. Bukhari no. 6231)

Ibnu Baththol mengatakan, “Dari Al Muhallab, disyari’atkannya orang yang muda mengucapkan salam pada yang tua karena kedudukan orang yang lebih tua yang lebih tinggi. Orang yang muda ini diperintahkan untuk menghormati dan tawadhu’ di hadapan orang yang lebih tua.” (Subulus Salam, 7/31)

Jika orang yang bertemu sama-sama memiliki sifat yang sama yaitu sama-sama muda, sama-sama berjalan, atau sama-sama berkendaraan dengan kendaraan yang jenisnya sama, maka di antara kedua pihak tersebut sama-sama diperintahkan untuk memulai mengucapkan salam. Yang mulai mengucapkan salam, itulah yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَاشِيَانِ إِذَا اجْتَمَعَا فَأَيُّهُمَا بَدَأَ بِالسَّلاَمِ فَهُوَ أَفْضَلُ

“Dua orang yang berjalan, jika keduanya bertemu, maka yang lebih dulu memulai mengucapkan salam itulah yang lebih utama.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod dan Al Baihaqi dalam Sunannya. Syaikh Al Albani dalam Shohih Adabil Mufrod mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Namun jika orang yang seharusnya mengucapkan salam pertama kali tidak memulai mengucapkan salam, maka yang lain hendaklah memulai mengucapkan salam agar salam tersebut tidak ditinggalkan. Jadi ketika ini, hendaklah yang tua memberi salam pada yang muda, yang sedikit memberi salam pada yang banyak, dengan tujuan agar pahala mengucapkan salam ini tetap ada. (Huquq Da’at Ilaihal Fithroh, 47)

Jika yang Diberi Salam adalah Jama’ah

Jika yang diberi salam adalah jama’ah (banyak orang), maka hukum menjawab salam adalah fardhu kifayah jika yang lain telah menunaikannya. Jika jama’ah diberi salam, lalu hanya satu orang yang membalasnya, maka yang lain gugur kewajibannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ وَيُجْزِئُ عَنِ الْجُلُوسِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ

“Sudah cukup bagi jama’ah (sekelompok orang), jika mereka lewat, maka salah seorang dari mereka memberi salam dan sudah cukup salah seorang dari sekelompok orang yang duduk membalas salam tersebut.” (HR. Abu Daud no. 5210. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Dan sebagaimana dijelaskan oleh Ash Shon’ani bahwa hukum jama’ah (orang yang jumlahnya banyak) untuk memulai salam adalah sunnah kifayah (jika satu sudah mengucapkan, maka yang lain gugur kewajibannya). Namun, jika suatu jama’ah diberi salam, maka membalasnya dihukumi fardhu kifayah. (Subulus Salam, 7/8)

Balaslah Salam dengan Yang Lebih Baik atau Minimal dengan Yang Semisal

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86)

Bentuk membalas salam di sini boleh dengan yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh lebih rendah dari ucapan salamnya tadi. Contohnya di sini adalah jika saudara kita memberi salam: Assalaamu ‘alaikum, maka minimal kita jawab: Wa’laikumus salam. Atau lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab dengan: Wa’alaikumus salam wa rahmatullah, atau kita tambahkan lagi: Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh. Begitu pula jika kita diberi salam: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, maka minimal kita jawab: Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi, atau jika ingin melengkapi, kita ucapkan: Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barokatuh. Ini di antara bentuknya.

Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab dengan suara yang jelas, dan tidak boleh dibalas hanya dengan lirih.

Begitu juga jika saudara kita memberi salam dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya pada kita, maka hendaklah kita balas salam tersebut sambil tersenyum dan menghadapkan wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas. Hendaklah kita membalas salam minimal sama dengan salam pertama tadi, begitu juga dalam tata cara penyampaiannya. Namun, jika kita ingin lebih baik dan lebih mendapatkan keutamaan, maka hendaklah kita membalas salam tersebut dengan yang lebih baik, sebagaimana yang kami contohkan di atas. (Lihat penjelasan ini di Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pada Bab ‘Al Mubadaroh ilal Khiyarot)

Peringatan

Hendaklah jika kita memberi salam (terutama melalui sms, email, surat, beri comment), janganlah ucapan salam tersebut kita ringkas menjadi: Ass. atau Ass.wr.wb. atau yang lainnya. Bentuk semacam ini bukanlah salam. Salam seharusnya tidak disingkat. Seharusnya jika ingin mengirimkan pesan singkat, maka hendaklah kita tulis: Assalamu’alaikum. Itu lebih baik daripada jika kita tulis: Ass., tulisan yang terakhir ini tidak ada maknanya dan bukanlah salam. Salam adalah bentuk do’a yang sangat bagus dan baik, kenapa kita harus menyingkat-nyingkat [?] Kenapa tidak kita tulis lengkap, bukankah itu lebih baik dan lebih utama [?] Janganlah kita dikepung dengan sikap malas ketika ingin berbuat baik, ubahlah sikap semacam ini dengan menulis salam lebih lengkap.

Jika salam tersebut melalui tulisan, sms, email dan sebagainya, maka hendaklah kita yang membaca salam tersebut, juga membalasnya dengan ditulis secara lengkap dan jangan disingkat-singkat.
Itulah peringatan dari kami. Kami ingatkan demikian karena salam adalah do’a yang sangat baik sekali. Para ulama menjelaskan bahwa As Salam itu termasuk nama Allah. Sehingga jika kita mengucapkan Assalamu’alaikum, maka ini berarti kita mendo’akan saudara kita agar dia selalu mendapat penjagaan dari Allah Ta’ala. Ada juga sebagian ulama mengartikan bahwa As Salam dengan keselamatan. Sehingga jika kita mengucapkan Assalamu’alaikum, maka ini berarti kita mendo’akan saudara kita agar dia mendapatkan keselamatan dalam masalah agama ataupun dunianya. Jadi makna salam yang terakhir ini berarti kita mendo’akan agar saudara kita mendapatkan keselamatan dari berbagai macam kerancuan dalam agama, selamat dari syahwat yang menggelora, juga agar diberi kesehatan, terhindar dari berbagai macam penyakit, dan bentuk keselamatan lainnya. Dengan demikian, salam adalah bentuk do’a yang sangat bagus sekali.

Oleh karena itu, hendaklah kita selalu menyebarkan syiar salam ini ketika bertemu saudara kita, ketika berjalan, dan dalam setiap kondisi. Hendaklah pula kita mengucapkan salam kepada orang yang kita kenali ataupun tidak. Dan dalam menulis sms atau email, hendaklah kita juga gemar menyebarkan syiar Islam yang satu ini. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan yang satu ini dan semoga pelajaran yang kami sampaikan ini adalah di antara ilmu yang bermanfaat bagi diri kami dan pembaca sekalian. Insya Allah, pembahasan ini masih kami lengkapi lagi pada posting-posting selanjutnya. Mudah-mudahan Allah memudahkan urusan ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Referensi:
Subulus Salam, Ash Shon’ani, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
Huquq Da’at Ilaihal Fithroh, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Darul Istiqomah
Fathul Bari, Ibnu Hajar, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Asy Syamilah

***
Pangukan, Sleman, 3 Shofar 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com/

Monday, July 19, 2010

Belajar Ibadah Dari Doa.flv

Friday, July 16, 2010

haram bid'ah maulid nabi















 
Powered by Blogger