Subscribe Twitter Facebook

Thursday, June 24, 2010

Hukum Berkabung Bagi Istri

Posted: 17 Apr 2010 06:37 PM PDT

Kematian merupakan sunatullah yang pasti menimpa setiap makhluk yang bernyawa, sebagaimana firman Allah:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati। Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (QS. Al Ankabut: 57)


Dan firman Allah:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“. (QS. Al Mulk: 2)


Sehingga sudah menjadi satu keharusan bagi kita untuk mengetahui hukum dan adab seputar masalah ini। Diantara masalah yang belum banyak diketahui masyarakat kita, khususnya di Indonesia adalah permasalahan berkabung.


Berkembang dewasa ini atau sebelumnya realita yang menyelisihi syariat islam dalam permasalahan berkabung ini Diantaranya berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang untuk wafatnya seorang pemimpin atau tokoh besar selama sehari atau tiga hari atau tujuh hari atau lebih. Hal ini jelas tidak ada dasarnya dalam islam. Demikian juga kaum laki-laki berkabung atas kematian salah seorang keluarga atau kerabatnya merupakan satu hal yang tidak disyariatkan, sebab Islam hanya menetapkan berkabung kepada wanita jika suaminya meninggal dunia atau salah satu keluarganya dengan cara-cara tertentu yang telah ditetapkan syari’at dengan istilah Al Hadaad. Sehingga perlu sekali kita mengetahui hukum seputar Al hadaad yang telah ditetapkan syari’at Islam.


Makna Al Hadaad (berkabung) dalam Islam

Berkabung yang dalam bahasa Arabnya adalah Al Hadaad ( الْحَدَادُ) bermakna tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau yang lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya[1]. Ada juga yang menyatakan bahwa al Hadaad adalah sikap wanita yang meninggal suaminya tidak mengenakan semua yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya berupa minyak wangi, celak mata dan pakaian menarik dan tidak keluar rumah tanpa hajat.[2]

Jenis Berkabung
Al Hadaad ini terbagi menjadi dua, yaitu:


  1. Berkabung dari kematian suami selama empat bulan sepuluh

  2. Berkabung dari kematian salah satu keluarganya selain suami selama tiga hari.


Pembagian ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:


لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم


“Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari kecuali atas kematian suaminya“[3]
Dan dalam riwayat Al Bukhari ada tambahan lafadz :



فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا


“Maka ia berkabung atas hal tersebut (kematian suami) selama empat bulan sepuluh hari” [4]



Hukum Berkabung atas kematian suami
Para ulama ahlu sunnah bersepakat kecuali Al Hasan Al Bashri, Al Hakam bin Utaibah dan Al Sya’bi menyatakan bahwa hukum Al Hadaad jenis yang pertama adalah wajib. Hal ini juga didasari oleh dalil dari Al Qur’an dan Sunnah.
Dalil dari Al Qur’an adalah Firman Allah :


وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِي


“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (QS. Al Baqarah: 234)



Sedangkan dari sunnah adalah hadits dari Zainab bintu Abu Salamah, beliau berkata :


سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ



“Aku telah mendengar Umuu Salamah berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya putriku ditinggal mati suaminya dan ia mengadukan sakit pada matanya, apakah ia boleh mengenakan celak mata? Lalu Rasulullah menjawab: tidak sebanyak dua kali atau tiga kali, semuanya dengan kata tidak. Kemudian Rasulullah berkata: Itu harus empat bulan sepuluh hari dan dahulu salah seorang dari kalian dizaman jahiliyah membuang kotoran binatang pada akhir tahun” [5]



Demikian juga hadits yang berbunyi:


لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم


“Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari kecuali atas kematian suaminya” [6]



Perkataan ulama dalam hal ini :




Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama tentang kewajiban Al Hadaad (berkabung) bagi wanita yang ditinggal mati suaminya kecuali dari Al Hasan, beliau menyatakan tidak wajib. Namun pendapat ini adalah pendapat yang syadz (aneh menyelisihi) pendapat para ulama dan menyelisihi sunnah sehingga tidak dianggap” [7].



  • Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751H) berkata : “Umat telah berijma’ tentang kewajiban Al hadaad bagi wanita yag ditinggal mati suaminya, kecuali yang diriwayatkan dari Al Hasan dan Al Hakam bin Utaibah” [8].

Hukum berkabung atas kematian salah satu keluarga selain suami



Berkabung atas kematian salah seorang kerabat atau keluarga selain suami diperbolehkan selama tiga hari saja dan tidak boleh lebih. Walaupun diperbolehkan namun bila suami mengajak berhubungan intim, maka wanita tersebut tidak boleh menolaknya.



Perkataan ulama dalam hal ini:



  • Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat tahun 852 H) menegaskan: “Syari’at memperbolehkan seorang wanita untuk berkabung atas kematian selain suaminya selama tiga hari, karena kesedihan yang mendalam dan penderitaan yang menghujam karena kematian orang tersebut. Hal itu tidak wajib menurut kesepakatan para ulama. Namun seandainya suami mengajaknya berhubungan intim (jima’) maka tidak boleh ia menolaknya” [9].

  • Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) menyatakan: “Seandainya seorang wanita berkabung selama tiga hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau kerabat lainnya, maka hal itu mubah” [10].

  • Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751 H) juga menyatakan: “Berkabung atas kematian suami hukumnya wajib dan atas kematian selainnya boleh saja” [11].


Syarat-syaratnya [12]



Adapun syarat-syarat diwajibkannya Al Hadaad adalah :



  • Wanita tersebut berakal dan baligh. Para ulama bersepakat bahwa wanita yang baligh dan berakal diwajibkan Al Hadaad, namun masih berselisih tentang wanita yang masih belum baligh atau gila. Pendapat yang rojih adalah pendapat mayoritas ulama yang mewajibkannya

  • Islam. Ini juga telah disepakati para ulama. Namun mereka berselisih pada wanita ahli kitab apakah dikenakan kewaiban ini atau tidak ? pendapat yang rojih adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan hal itu diwajibkan pada wanita ahli kitab yang menikah dengan muslim, lalu suaminya tersebut meninggal dunia.

  • Menikah dengan akad yang shahih (sah)

Masa waktu berkabung dan cara menghitung harinya


Telah disinggung diatas bahwa masa berkabung bagi wanita adalah empat bulan sepuluh hari. Ini berlaku pada semua wanita kecuali yang hamil. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya berkabung sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:




وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا


“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (QS. 65:4)



Dan hadits Suabi’ah yang berbunyi:


كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي


“Umar bin Abdillah bin Al Arqam Al Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya bahwa Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa beliau (Subai’ah) adalah istri Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari bani ‘Amir bin Lu’ai dan beliau ini termasuk orang yang ikut perang badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan Subai’ah dalam keadaan hamil. Kemudian tidak lama kemudian beliau melahirkan setelah wafat suaminya tersebut. Ketika selesai nifasnya maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari bani Abduddar menemuinya sembari berkata: Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi Allah kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari. Subai’ah berkata: ketika ia bicara demikian kepada ku maka aku memakai pakaianku pada sore harinya lalu aku mendatangi Rasululloh dan menanyakan hal tersebut. Kemudian rasululloh memberikan fatwa kepadaku bahwa aku telah halal dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila ingin” [13]



Oleh karena itu imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: “Adapun orang yang hamil, jika telah melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya tersebut menurut kesepakatan mereka, sehingga ia boleh menikah, berhias dan memakai wangi-wangian untuk suaminya (yang baru) dan berhias sesukanya” [14].



Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan: “Mayoritas ulama dari para salaf dan imam fatwa di negeri-negeri berpendapat bahwa orang yang hamil jika wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya dengan melahirkan” [15].



Masa berkabung ini dimulai dari hari kematian suami, walaupun berita kematiannya terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat mayoritas para sahabat, imam madzhab yang empat, Ishaaq bin Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.[16]


Perhitungannya dengan menggunakan bulan Hijriyah. Sebagai contoh, seorang wanita ditinggal mati suaminya pada lima hari sebelum selesai bulan Dzulhijjah, maka ia hitung sisa Dzulhijah tersebut dan melihat hilal Muharrom, Shafar, Rabi’ul awal dan Rabi’u Ats Tsani, bila telah genap empat bulan tersebut maka ia tambahkan dengan sisa bulan Dzulhijah tersebut dan tambah hari sampai sepuluh hari empat bulan. Kemudian diperbolehkan berhias sebagaimana wanita berhias.



Hal-hal yang dilarang dalam masa berkabung
Diharamkan pada wanita yang berkabung ini semua yang diharamkan pada orang yang menunggu masa iddah dari berhias atau yang lainnya yang dapat menarik untuk menikahinya.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

Catatan kaki
[1] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, tanpa cetakan dan tahun, Al Maktabah Al Salafiyah, Mesir, hal 3/146
[2] Lihat Al Kalimaat Al Bayyinaat Fi Ahkam Hadaad Al Mukminat, Muhamad Al Hamuud Al Najdi,cetakan pertama tahun 1415 H, Dar Al Fath. Hal 8
[3] Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Thalak bab Wujub Al Ihdaad no. 3714.
[4] Diriwayatkan imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Janaaiz, bab Ihdaad Al Mar’ah ‘Ala Ghairi Zaujiha, no. 1280. lihat Fathul Bari op.cit hal 3/146
[5] Diriwayatkan Imam Al Bukhari, kitab Thalaq, Bab Tahiddu Al Mutawaffa ‘Anha Arba’ata Asyhur Wa ‘Asyra, no. 5335. lihat Fathul Bari op.cit hal 9/484
[6] Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Thalak bab Wujub Al Ihdaad no. 3714.
[7] Al Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiiq Abdulmuhsin bin Abdullah Al Turki dan Abdulfatah bin Muhammad Al Halwu, cetakan kedua tahun 1413H, penerbit Hajar, Kairo , mesir hal. 11/284.
[8] Zaad Al Ma’ad Fi Hadyu Khoirul Ibad, Ibnu Al Qayyim, Tahqiiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdulqadir Al Arnauth, cetakan ketiga tahun 1421H Muassat Al Risalah hal 5/618
[9] Fathul Bari op.cit 3/146.
[10] Al Muhalla, Ibnu Hazm Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa cetakan dan tahun, Daar Al Turats, Mesir. Hal 10/280
[11] Zaad Al Ma’ad, op.cit 5/618.
[12] diringkas secara bebas dari Al Kalimaat Al Bayyinaat Fi Ahkam Hadaad Al Mukminat, Muhamad Al Hamuud Al Najdi, op.cit hal 11-13
[13] Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Thalak, bab Inqidho Al Mutawaaffa ‘Anha Jauzuha no. 3707
[14] Zaad Al Ma’ad op.cit hal 5/619.
[15] Fathul bari op.cit hal 9/474.
[16] Lihat Al kalimaat Al Bayyinat, op.cit hal 19.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com


0 comments:

Post a Comment

 
Powered by Blogger