Subscribe Twitter Facebook

Saturday, October 23, 2010

Berhaji Tanpa Mahrom


Rabu, 20 Oktober 2010 18:00 Muhammad Abduh Tuasikal

An Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa seorang wanita dinilai wajib menunaikan haji dalam Islam jika ia telah berkemampuan. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا


“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imron: 97).

Mengenai kemampuan di sini sebenarnya sama halnya dengan pria. Namun para ulama berselisih pendapat apakah pada wanita disyaratkan harus adanya mahrom ataukah tidak.” [1]



Khilaf Ulama

Berikut adalah beberapa pendapat para ulama mengenai hukum berhaji tanpa mahrom.

Disyaratkan seorang wanita dalam safar hajinya untuk ditemani oleh suami atau mahromnya jika memang ia telah menempuh jarak safar ke Makkah selama tiga hari. Jarak seperti ini adalah jarak minimal untuk dikatakan bersafar, demikian pendapat ulama Hanafiyah dan Hambali.

Mereka berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ


“Tidak boleh seorang wanita bersafar tiga (hari perjalanan) melainkan harus bersama mahromnya.” (HR. Muslim no. 1338 dan 1339, dari Ibnu ‘Umar)

Ulama Syafi'iyah dan ulama Malikiyah membolehkan mahrom tersebut diganti. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa jika ada para wanita yang tsiqoh--dua atau lebih--yang memberikan rasa aman, maka ini cukup sebagai pengganti mahrom atau suami. Hal ini ditinjau jika wanita tersebut sudah dikenai kewajiban untuk berhaji dalam Islam. Menurut mereka, “Yang paling tepat, tidak disyaratkan adanya mahrom bagi para wanita tersebut (yang akan berhaji). Sudah cukup sebenarnya jika sudah ada jama’ah yang jumlahnya banyak.”

Namun jika didapati satu wanita tsiqoh, maka tidak wajib bagi mereka untuk berhaji (yang selain wajib). Akan tetapi boleh baginya berhaji jika hajinya adalah haji fardhu (wajib) atau haji nadzar. Bahkan boleh baginya keluar sendirian untuk menunaikan haji yang wajib atau untuk menunaikan nadzar, selama aman.

Ulama Malikiyah menambahkan yang intinya membolehkan. Mereka mengatakan bahwa jika wanita tidak mendapati mahrom atau tidak mendapati pasangan (suami untuk menemaninya), walaupun itu memperolehnya dengan upah, maka ia boleh bersafar untuk haji yang wajib atau haji dalam rangka nadzar selama bersama orang-orang (dari para wanita atau para pria yang sholih) yang memberikan rasa aman.

Ad Dasuqi (sala seorang ulama Malikiyah) berkata bahwa kebanyakan ulama Malikiyah mempersyaratkan wanita harus disertai mahrom.

Adapun haji yang sunnah para ulama sepakat bahwa tidak boleh seorang wanita bersafar untuk haji kecuali bersama suami atau mahromnya. Untuk haji yang sunnah tidak boleh ia bersafar dengan selain mahromnya, bahkan ia bisa terjerumus dalam dosa jika nekad melakukannya.

Demikian kami sarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah. [2]

Terdapat tambahan dari penjelasan An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim. An Nawawi berkata, “’Atho’, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Imam Malik Al Auza’i dan pendapat Imam Asy Syafi’i yang masyhur berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya mahrom. Yang disyaratkan adalah si wanita mendapatkan rasa aman. Ulama Syafi’iyah menerangkan bahwa rasa aman tersebut bisa tercapai dengan adanya suami, mahrom atau wanita-wanita yang tsiqoh (terpercaya). Haji tidaklah diwajikan menurut madzhab kami kecuali dengan ada rasa aman dari salah satu hal tadi. Jika didapati satu wanita tsiqoh saja, maka haji tidak menjadi wajib. Akan tetapi wanita yang akan berhaji boleh bersafar dengan wanita lain walaupun bersendirian. Ini yang tepat. ...

Pendapat yang masyhur dari Imam Asy Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah adalah pendapat di atas. Ulama Syafi’iyah kemudian berselisih pendapat mengenai hukum wanita berhaji yang sunnah tanpa adanya mahrom atau untuk safar dengan tujuan ziaroh atau berdagang atau semacam itu yang tidak wajib. Sebagian ulama Syafi’iyah katakan bahwa hal-hal yang tidak wajib tadi dibolehkan sebagaimana haji (yang wajib). Namun pendapat mayoritas ulama, “Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali dengan suami atau mahromnya. Inilah yang tepat karena didukung oleh hadits-hadits yang shahih.” [3]

Titik Beda Pendapat

Al Qurthubi rahimahullah berkata,

Sebab perselisihan ulama dalam masalah ini adalah karena adanya pemahaman yang berbeda dalam menkompromikan berbagai hadits (yang melarang bersafar tanpa mahrom, pen) dengan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imron: 97).

Secara zhohir, yang dimaksud istitho’ah (dikatakan mampu dalam haji) adalah mampu pada badan (fisik). Jadi jika secara fisik mampu, maka diwajibkan untuk haji. Barangsiapa yang tidak mendapati mahrom namun ia sudah memiliki kemampuan secara fisik, maka ia tetap diwajibkan untuk haji. Dari sini, ketika terjadi pertentangan antara tesktual ayat dan hadits, maka muncullah beda pendapat di antara para ulama.

Imam Abu Hanifah dan para ulama yang sependapat dengannya menjadikan hadits (tentang larangan safar wanita tanpa mahrom) sebagai penjelas dari dalil yang menjelaskan istitho’ah (kemampuan) pada hak wanita.

Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya berpendapat bahwa istitho’ah (kemampuan) yang dimaksudkan adalah bisa dengan cukup wanita tersebut mendapatkan rasa aman dari para pria atau wanita lainnya. Sedangkan hadits (yang melarang wanita bersafar tanpa mahrom) tidaklah bertentangan jika memang safarnya adalah wajib (untuk menunaikan haji yang wajib, pen).

Demikian sarian dari penjelasan Al Qurthubi rahimahullah. [4]

Intinya dari penjelasan Al Qurthubi rahimahullah, ada perbedaan dalam memahami dua dalil berikut. Dalil pertama tentang istitho’ah (kemampuan dalam berhaji).

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imron: 97).

Dalil kedua adalah tentang larangan bersafar tanpa mahram.

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang wanita bersafar tiga (hari perjalanan) melainkan harus bersama mahromnya.” (HR. Muslim no. 1338 dan 1339, dari Ibnu ‘Umar)

Jadi ada ulama yang katakan bahwa ia tetap berangkat haji meskipun hanya mendapatkan rasa aman saja dengan ditemani para pria sholeh atau wanita yang tsiqoh (terpercaya). Karena para ulama yang berpendapat demikian menilai hajinya tetap ditunaikan, jika memang hajinya itu wajib. Sedangkan larangan untuk bersafar tanpa mahrom dinilai sebagai saddu dzari’ah, yaitu larangan yang bukan tertuju pada dzatnya akan tetapi terlarang karena dapat mengantarkan pada sesuatu yang terlarang. Dan mereka punya kaedah fiqh (yang tentu ini dibangun di atas dalil), “Sesuatu yang terlarang karena saddu dzari’ah dibolehkan jika dalam keadaan hajjah (butuh).” Dan mereka menganggap bahwa kondisi haji yang sudah wajib dilihat dari segi finansial dan fisik ini tetap dikatakan wajib meskipun akhirnya berangkatnya tanpa mahrom dan ditemani dengan para pria atau para wanita lain yang tsiqoh.

Sedangkan ulama yang menganggap tetap harus dengan mahrom—seperti pendapat ulama Hanafiyah dan ulama Hambali--, menyatakan bahwa mahrom itu sebagai syarat istitho’ah karena mereka menyatakan ayat yang membicarakan tentang istitho’ah (kemampuan) dalam berhaji dijelaskan dengan hadits larangan bersafar tanpa mahrom.

Riwayat Haji Tanpa Mahrom

Disebutkan Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla,

Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang wanita boleh berhaji jika ia ditemani oleh orang-orang yang memberikan rasa aman, meskipun wanita tersebut kala itu tidak ditemani suami dan tidak ditemani mahromnya. Sebagaimana kami riwayatkan dari jalan Ibnu Abi Syaibah, ia berkata bahwa Waki’, dari Yunus (Ibnu Yazid), dari Zuhri, ia berkata, “Ada yang menanyakan pada ‘Aisyah—Ummul Mukminin—wanita, apakah betul seorang wanita tidak boleh bersafar kecuali dengan mahromnya?” ‘Aisyah menjawab,

ليس كل النساء تجد محرما
“Tidak setiap wanita memiliki mahrom.”

Dari jalur Sa’id bin Manshur, ia berkata bahwa Ibnu Wahb, dari ‘Amr bin Al Harits, dari Bukair bin Asyja’, dari Nafi’ (bekas budak Ibnu ‘Umar), beliau berkata,

كان يسافر مع عبد الله بن عمر موليات (له) (1) ليس معهن محرم،
Para bekas budak wanita milik ‘Abdullah bin ‘Umar pernah bersafar bersama beliau dan tidak ada bersama mereka mahrom.

Pendapat di atas juga menjadi pendapat Ibnu Sirin, ‘Atho’, nampak dari pendapat Az Zuhri, Qotadah, Al Hakam bin ‘Utaibah, ini juga menjadi pendapat Al Auza’i, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Abu Sulaiman dan beberapa sahabat. [5]

Ibnu Hazm rahimahullah pun memberikan sanggahan terhadap pendapat Imam Abu Hanifah (yang mensyaratkan wanita harus berhaji dengan mahrom). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun pendapat Imam Abu Hanifah dalam penentuan yang kami sebutkan (tidak boleh bersafar lebih dari tiga hari kecuali bersama mahrom), maka pendapat ini tidak diketahui adanya salaf dari para sahabat yang berpendapat seperti itu, tidak pula diketahui adanya pendapat tabi’in. Bahkan kami tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat sebelum mereka seperti itu.” [6]

Pentarjihan Pendapat

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Wanita tidak wajib bersafar untuk haji dan tidak boleh ia melakukannya kecuali jika bersama suami atau mahromnya.” [7]

Lalu Ibnu Taimiyah membawakan di antara dalilnya sebagai berikut:

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Seorang wanita tidak boleh bersafar lebih dari tiga hari kecuali bersama dengan mahromnya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ « اخْرُجْ مَعَهَا »

“Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat [8] (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Setelah membawakan dalil-dalil tersebut, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalil-dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan diharamkannya safar wanita tanpa mahrom. Dan dalil-dalil tersebut tidak menyatakan satu safar pun sebagai pengecualian. Padahal safar untuk berhaji sudah masyhur dan sudah seringkali dilakukan. Sehingga tidak boleh kita menyatakan ini ada pengecualian dengan niat tanpa ada lafazh (pendukung). Bahkan para sahabat, di antara mereka memasukkan safar haji dalam hadits-hadits larangan tersebut. Karena ada seseorang yang pernah menanyakan mengenai safar haji tanpa mahrom, ditegaskan tetap terlarang.” [9]

Intinya, sejak dulu masalah ini ada silang pendapat karena beda dalam memahami dalil. Sehingga yang lebih kuat adalah yang lebih merujuk pada dalil. Alasan Ibnu Taimiyah ini lebih memuaskan karena didukung langsung oleh hadits yang shahih. Pendapat Ibnu Hazm cukup disanggah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah di atas. Jadi, pendapat yang menyatakan terlarangnya haji tanpa mahrom itu yang lebih kuat.

Dukungan dari Fatwa Al Lajnah Ad Daimah

Komisi Fatwa di Saudi Arabia, Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, “Seorang wanita shalihah setengah usia atau mendekati tua di Saba' ingin haji dan tidak mempunyai mahram. Tapi di daerahnya ada seorang lelaki yang sholeh yang ingin haji bersama beberapa wanita dari mahramnya. Apakah wanita tersebut sah hajinya jika pergi bersama seorang lelaki sholeh yang pergi bersama beberapa wanita mahramnya dan lelaki tersebut sebagai pembimbingnya? Ataukah dia gugur dari kewajiban haji karena tidak ada mahram yang mendampingi padahal dia telah mampu dari sisi materi? Mohon fatwa tentang hal tersebut, sebab kami berselisih dengan sebagian kawan kami dalam hal tersebut.”

Jawaban:

Wanita yang tidak mempunyai mahram yang mendampingi dalam haji maka dia tidak wajib haji. Sebab mahram bagi seorang wanita merupakan istitho’ah (bentuk kemampuan) dalam melakukan perjalanan haji. Sedangkan kemampuan melakukan perjalanan merupakan syarat dalam haji. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

" Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah" (QS. ‘Ali Imran : 97)

Seorang wanita tidak boleh pergi haji atau lainnya kecuali bersama suami atau mahramnya, sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan (berkhalwat) dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai muhrimnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya." Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dan bertanya, "Ya, Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan pergi berperang ke sana dan ke situ; bagaimana itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab, "Pergilah kamu haji bersama isterimu."

Demikian ini adalah pendapat Hasan Al Bashri, An Nakho'i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir dan Ahli Ra'yi (madzhab Abu Hanifah). Pendapat ini adalah pendapat yang lebih tepat karena sesuai dengan keumuman hadits-hadits yang melarang wanita bepergian tanpa suami atau mahramnya. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Imam Malik, Imam Asy Syafi'i dan Al-Auza'i. Di mana mereka menyebutkan syarat yang tidak bisa dijadikan hujjah. Ibnul Mundzir berkata, "Mereka meninggalkan pendapat yang begitu nampak jelas pada hadits. Masing-masing mereka menyebutkan syarat yang tidak bisa dijadikan hujjah".

Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. [10]

Demikian yang kami sajikan sebatas ilmu kami. Semoga kajian ini bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Finished after Zhuhur, on 12 Dzulqo’dah 1431 H (20/10/2010), in KSU, Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

www.rumaysho.com



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 9/104

[2] Kami sarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, index “hajj”, point 25, 17/35-36.

[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/104.

[4] ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Al ‘Azhim Abadi Abuth Thoyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1415, 5/103-104.

[5] Al Muhalla, Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub (sesuai standar cetakan), 7/47-48

[6] Al Muhalla, 7/48

[7] Syarh Al ‘Umdah, Ibnu Taimiyah, Maktabah Al ‘Ubaikan, 1413 H, 2/172

[8] Tafsiran seperti ini lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, Darul Ma’rifah, 1379, 4/77

[9] Syarh Al ‘Umdah, 2/174.

[10] Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ sebagai anggota. Fatwa no. 1173, 11/90.

Tuesday, October 19, 2010

Sa’ad bin Abi Waqas, Sang Penakluk Persia di saat menjelang wafatnya…





Sa’ad bin Abi Waqas, Sang Penakluk Persia di saat menjelang wafatnya…


Rasulullah salallhau ‘alaihi wasallam mengucapkan dalam doanya untuk Sa’d,

اَللّهُمَّ سَدِّدْ رَمْيَتَهُ وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ
“Ya Allah, tepatkan lemparan panahnya dan kabulkan doanya.”*

Amirul Mu’minin al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu menunggang kudanya dalam suatu rombongan para sahabatnya, dan dia memutuskan untuk memimpin pasukan Islam dalam suatu peperangan yang menentukan melawan Persia yang ber-agama Majusi yang benci terhadap Islam dan kaum muslimin. Beliau menyerahkan pemerintahan sementara atas kota Madinah kepada Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Tetapi sebelum meninggalkan Madinah, sebagian sahabat berpendapat agar al-Faruq kembali ke Madinah (Ibu Kota Khilafah) dan menunjuk orang lain untuk kepentingan ini. Pendapat ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin Auf radhiyallahu’anhu. Penyebabnya ialah kekhawatiran mereka terhadap al-Faruq dan melindunginya. Siapakah yang lengah terhadap al-Faruq?!

Al-Faruq memahami pendapat ini, dan bertanya kepada para sahabatnya, “Menurut kalian, siapakah yang akan kami utus ke Irak?” Semuanya diam berpikir. Tiba-tiba Abdurrahman bin Auf radhiyallahu’anhu berteriak, “Aku mendapatkannya.” Umar bertanya, “Siapakah dia?” Abdurrahman menjawab, “Singa yang ganas dengan cakarnya, Sa’d bin Malik az-Zuhri.” Yaitu Sa’d bin Abi Waqqash. Siapakah Sa’d bin Abi Waqqash? Siapakah Singa yang ganas dengan cakar-cakarnya? Siapakah orang ini yang ketika datang kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan beliau di tengah para sahabatnya, maka beliau menghormati dan mencandainya seraya berkata,

هذَا خَالِيْ، فَلْيَرِنِيْ امْرُؤٌ خَالَهُ
“Ini pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan paman-nya kepadaku.” (HR. al-Hakim, 3/ 498)

Ia adalah Sa’d bin Abi Waqqash. Pamannya bernama Uhaib bin Manaf, paman Sayyidah Aminah ibunda Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Ia masuk Islam pada saat berusia 17 tahun, dan keislamannya tergolong awal. Ia bercerita tentang dirinya, “Suatu hari datang padaku, dan aku adalah orang ketiga dari tiga orang yang per-tama kali masuk Islam.”

Ia adalah orang pertama yang memanah dalam Islam, dan orang pertama yang terkena panah juga. Ia juga satu-satunya orang yang diberi tebusan oleh Rasulullah pada saat perang Uhud dengan kedua ibu bapaknya. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Aku pernah mendengar beliau Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari perang Uhud, “Aku tidak pernah mendengarr Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam memberikan tebusan kepada seseorang dengan kedua orang tuanya kecuali Sa’d,

اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ
“Panahlah, wahai Sa’d… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755)

Ia memiliki dua senjata ampuh yaitu panah dan doanya. Rasulullah pernah mendoakan untuknya dengan doa ini,

اَللّهُمَّ سَدِّدْ رَمْيَتَهُ، وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ
“Ya Allah, tepatkan lemparan anak panahnya, dan kabulkanlah doanya.”( HR. al-Hakim, 3/ 500 dan al-Kanz, no. 36644)

Ketika ia mengumumkan keislamannya, ibunya berusaha menghalanginya dan menyatakan mogok makan dan minum. Sa’d tidak peduli serta tidak menjual keimanannya dan agama-nya dengan sesuatu pun bahkan kehidupan ibunya sekalipun. Ketika ibunya hampir mati, ia pergi untuk menjenguknya, setelah sebagian sahabatnya mencegahnya karena khawatir hatinya men-jadi lunak ketika melihat keadaan ibunya. Ini suatu pemandangan yang mampu mencairkan batu cadas. Tetapi ia berkata kepada ibunya, “Engkau tahu, demi Allah, wahai ibu. Seandainya engkau punya seratus nyawa lalu nyawa tersebut keluar satu persatu, aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku ini karena sesuatu pun. Makanlah jika engkau suka, atau tidak makan.” Sejak itu-lah ibunya meninggalkan tekadnya itu. Apabila Sa’d mendengar Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam memberi nasihat dan berkhutbah kepada para sahabatnya, maka kedua mata beliau mengalirkan air mata hingga nyaris air matanya memenuhi pangkuannya.

Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam memandang wajah-wajah sahabatnya, dan berkata kepada mereka,

يَطَّلِعُ عَلَيْكُمُ اْلآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ
“Akan muncul di hadapan kalian sekarang seorang dari ahli surga.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3747, dengan lafazh yang semakna )

Beberapa saat kemudian, Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu’anhu muncul di hadapan mereka.

Menjelang perang Qadisiyyah, setelah delegasinya kembali dari Rustum untuk mengabarkan kepadanya bahwa yang dipilih adalah perang, maka kedua matanya penuh dengan air mata. Sebenarnya ia menginginkan agar perang diundurkan sementara waktu atau dimajukan sedikit, karena sakit yang menimpanya cukup parah. Bisul-bisul memenuhi tubuhnya sehingga tidak dapat duduk. Ketika ia pergi dan berdiri di tengah pasukannya untuk memberikan orasi, ia memulai orasinya dengan sebuah ayat al-Qur’an. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,”Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang shalih.” (Al-Anbiya’: 105)

Kemudian ia shalat Zhuhur bersama pasukan, lalu bertakbir empat kali, kemudian memerintahkan para prajurit dengan ucapan, “Mari kita menuju keberkahan Allah.” Pasukan Persia pun berjatuhan seperti lalat, dan berjatuhan pula bersama mere-ka kaum Majusi serta para penyembah api.

Pada suatu hari, pada tahun 54 H, dan usia Sa’d telah mencapai 80 tahun; Di sana, di rumahnya, di ‘Aqiq, ia bersiap untuk berjumpa Allah Subhanahu Wata’ala.

Putranya meriwayatkan kepada kita detik-detik terakhir kehidupannya. Katanya, “Kepala ayah di pangkuanku pada saat sekarat, maka aku pun menangis. Ayah bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis, wahai putraku? Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzabku selamanya dan aku termasuk ahli surga.” Karena Rasulullah Salallhu ‘alaihi wasallam telah memberi kabar gembira kepadanya dengan surga. Kalau begitu, untuk apa takut?!

Ia ingin berjumpa Allah Subhanahu Wata’ala dengan membawa kenangan paling indah yang telah dikumpulkannya dengan agamanya dan dicapainya berkah Rasulullah. Ia mengisyaratkan tangannya ke lemari, lalu mereka membukanya. Kemudian mereka mengeluarkan darinya sebuah selendang usang. Lalu ia memerintahkan kepada keluarganya agar mengkafaninya dengan kain tersebut, seraya berkata, “Sungguh aku bertemu kaum musyrikin dengan membawa selendang itu pada perang Badar. Dan sungguh aku telah menyimpannya untuk hari ini.”

Di atas pundak kaum laki-laki, dipikullah ke Madinah sesosok jasad akhir Muhajirin dalam keadaan sudah mati, untuk disemayamkan di tengah golongan yang suci yaitu para sahabat-nya yang lebih dahulu berpulang ke haribaan Allah Subhanahu Wata’ala. Jasad-jasad mereka yang keras mendapat ketentraman di tanah al-Baqi’.

(SUMBER: Sebagai yang dinukil dari buku Rijal Haula ar-Rasul, hal.84-93) (Lihat cerita lainnya di: www.alsofwah.or.id

http://hudzai.wordpress.com/2009/02/28/saad-bin-abi-waqas-sang-penakluk-persia-di-saat-menjelang-wafatnya/


source:KISAH TELADAN by Parama Dyah Ummu 'Aisyah

Friday, October 15, 2010

Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun


Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun



Ada hari yang dirasa spesial bagi kebanyakan orang. Hari yang mengajak untuk melempar jauh ingatan ke belakang, ketika saat ia dilahirkan ke muka bumi, atau ketika masih dalam buaian dan saat-saat masih bermain dengan ceria menikmati masa kecil. Ketika hari itu datang, manusia pun kembali mengangkat jemarinya, untuk menghitung kembali tahun-tahun yang telah dilaluinya di dunia. Ya, hari itu disebut dengan hari ulang tahun.


Nah sekarang, pertanyaan yang hendak kita cari tahu jawabannya adalah: bagaimana sikap yang Islami menghadapi hari ulang tahun?

Jika hari ulang tahun dihadapi dengan melakukan perayaan, baik berupa acara pesta, atau makan besar, atau syukuran, dan semacamnya maka kita bagi dalam dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, perayaan tersebut dimaksudkan dalam rangka ibadah. Misalnya dimaksudkan sebagai ritualisasi rasa syukur, atau misalnya dengan acara tertentu yang di dalam ada doa-doa atau bacaan dzikir-dzikir tertentu. Atau juga dengan ritual seperti mandi kembang 7 rupa ataupun mandi dengan air biasa namun dengan keyakinan hal tersebut sebagai pembersih dosa-dosa yang telah lalu. Jika demikian maka perayaan ini masuk dalam pembicaraan masalah bid’ah. Karena syukur, doa, dzikir, istighfar (pembersihan dosa), adalah bentuk-bentuk ibadah dan ibadah tidak boleh dibuat-buat sendiri bentuk ritualnya karena merupakan hak paten Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kemungkinan pertama ini merupakan bentuk yang dilarang dalam agama, karena Rasul kita Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:



مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]



Perlu diketahui juga, bahwa orang yang membuat-buat ritual ibadah baru, bukan hanya tertolak amalannya, namun ia juga mendapat dosa, karena perbuatan tersebut dicela oleh Allah. Sebagaimana hadits:



أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)

Kemungkinan kedua, perayaan ulang tahun ini dimaksudkan tidak dalam rangka ibadah, melainkan hanya tradisi, kebiasaan, adat atau mungkin sekedar have fun. Bila demikian, sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam Islam, hari yang dirayakan secara berulang disebut Ied, misalnya Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat merupakan hari Ied dalam Islam. Dan perlu diketahui juga bahwa setiap kaum memiliki Ied masing-masing. Maka Islam pun memiliki Ied sendiri. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا“Setiap kaum memiliki Ied, dan hari ini (Iedul Fitri) adalah Ied kita (kaum Muslimin)” [HR. Bukhari-Muslim]

Kemudian, Ied milik kaum muslimin telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya hanya ada 3 saja, yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat. Nah, jika kita mengadakan hari perayaan tahunan yang tidak termasuk dalam 3 macam tersebut, maka Ied milik kaum manakah yang kita rayakan tersebut? Yang pasti bukan milik kaum muslimin.Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari kaum tersebut” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban]

Maka orang yang merayakan Ied yang selain Ied milik kaum Muslimin seolah ia bukan bagian dari kaum Muslimin. Namun hadits ini tentunya bukan berarti orang yang berbuat demikian pasti keluar dari statusnya sebagai Muslim, namun minimal mengurangi kadar keislaman pada dirinya. Karena seorang Muslim yang sejati, tentu ia akan menjauhi hal tersebut. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan ciri hamba Allah yang sejati (Ibaadurrahman) salah satunya:

والذين لا يشهدون الزور وإذا مروا باللغو مروا كراما

“Yaitu orang yang tidak ikut menyaksikan Az Zuur dan bila melewatinya ia berjalan dengan wibawa” [QS. Al Furqan: 72]

Rabi’ bin Anas dan Mujahid menafsirkan Az Zuur pada ayat di atas adalah perayaan milik kaum musyrikin. Sedangkan Ikrimah menafsirkan Az Zuur dengan permainan-permainan yang dilakukan adakan di masa Jahiliyah.

Jika ada yang berkata “Ada masalah apa dengan perayaan kaum musyrikin? Toh tidak berbahaya jika kita mengikutinya”. Jawabnya, seorang muslim yang yakin bahwa hanya Allah lah sesembahan yang berhak disembah, sepatutnya ia membenci setiap penyembahan kepada selain Allah dan penganutnya. Salah satu yang wajib dibenci adalah kebiasaan dan tradisi mereka, ini tercakup dalam ayat:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” [QS. Al Mujadalah: 22]

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimahllah- menjelaskan : “Panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalannya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadang kala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka” [Dinukil dari terjemah Fatawa Manarul Islam 1/43, di almanhaj.or.id]

Jika demikian, sikap yang Islami dalam menghadapi hari ulang tahun adalah: tidak mengadakan perayaan khusus, biasa-biasa saja dan berwibawa dalam menghindari perayaan semacam itu. Mensyukuri nikmat Allah berupa kesehatan, kehidupan, usia yang panjang, sepatutnya dilakukan setiap saat bukan setiap tahun. Dan tidak perlu dilakukan dengan ritual atau acara khusus, Allah Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi di dalam dada. Demikian juga refleksi diri, mengoreksi apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan dari diri kita selayaknya menjadi renungan harian setiap muslim, bukan renungan tahunan.Wallahu’alam.


http://ilmusalaf.wordpress.com

Wednesday, October 13, 2010

Dialog doktor bsma Syeikh Sholeh Uthaimin

bismillah..
semoga isi dauroh lewat vd ini bermanfaat untuk yang melihat dan mempelajarinya amiin...
afwan.. untk vd yg di blog ini terlalu kecil untuk membaca subtitlenya, untuk lebih jelasnya antum bisa langsung ke youtube. syukron













Monday, October 11, 2010

Dialog Ukhuwah Interaktif NU-SALAFY “Ikhtilaf Dalam Menyikapi Al-Qur’an & As-Sunnah”

Dialog Ukhuwah Interaktif NU-SALAFY “Ikhtilaf Dalam Menyikapi Al-Qur’an & As-Sunnah”
4 April 2010
abu hafiz

Para ulama telah bersepakat bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber hukum islam, akan tetapi kita mendapatkan banyak perbedaan dalam memahami dan mengamalkannya. Insya Allah dalam mudzakaroh ini kita akan mengetahui sebab-sebab perbedaan dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bagaimana sikap kita terhadap perbedaan pendapat dan kesalahan ulama serta jalan keluarnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs.An-Nisaa :59)

Berikut kami sampaikan rekaman mudzakaroh yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta. Dengan mengundang dua narasumber yang berbeda dari Nahdatul Ulama (NU) dan Salafi. Yakni Al-Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin LC dan KH. Said Agil Munawar dengan moderator (MUI) KH. M Syafi’i Mufid.

Dengan materi yang di bahas ” Ikhtilaf Dalam Menyikapi Nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) Sebab dan Cara Menyikapinya “. Dialog diadakan di Hotel Gren Alia Cikini Jln. Cikini Raya No. 46 Jakarta Pusat. tanggal 27 Januari 2010 pada sesi ke 2 (siang, 13.00 – 15.45 Wib).

Sebelumnya pada pagi hari juga di adakan dialog dengan materi yang sama. dengan mengundang narasumber dari Muhammadiyah dan Syiah.

Pembicara pertama KH. Said Agil Munawar kemudian Ustadz Zainal Abidin.

Download:





Mudzakaroh MUI Propinsi DKI Jakarta 1.mp3





Mudzakaroh MUI Propinsi DKI Jakarta 2.mp3

Atau download via 4shared.com

Mudzakaroh MUI Propinsi DKI Jakarta 1.mp3
Mudzakaroh MUI Propinsi DKI Jakarta 2.mp3


Semoga bermanfaat.

Sumber: VCD Dialog Ukhuwah Interaktif NU-SALAFY Mudzakaroh Ikhtilaf Dalam Menyikapi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Penerbit Media Ilmu (Seri ke:11)

source;
http://kaeshafiz.wordpress.com
 
Powered by Blogger